Tidak ada yang salah di dunia ini jika setiap orang menganggap dirinya selalu benar. Kalau Jean pernah bilang takaran kopi yang pas adalah dua sendok teh ditambah satu sendok teh krimer; jangan terlalu banyak air panas, terlebih menghambur ke pelipir cangkir. Carl tak ingin kalah pamor memarkir coffee maker instan yang baru ia beli kemarin di pantry kantor, berikut dengan embel-embel kopi instan berbagai rasa; tidak perlu krimer. Takaran-takaran semacam itu sudah didoktrin dari pabrik. Tinggal tekan. Otomatis meluruh dari corong menuju cangkir. Sungguh praktis.
Andai perkara semacam itu diterapkan ke berbagai hal. Semudah menggunting bungkus kopi, pun menghunus pisau cukur di tangan kiri. Semudah saat Jean menyeduh kopi pertamanya di pagi hari; aku menghirup bubuk putih.
Tegel di bawah jemari kaki terasa beku. Celah di jemari kuku seakan menunggu. Sebentar-sebentar telunjukku maju—aku tak yakin. Sembari melempar tatapan ke depan. Bayangan memalukan itu menyembul kembali di permukaan cermin. Dengan kantung mata menggumpal di bawah pupil. “Hih,” ujarku pada diri sendiri.
Aku melempar tawa kecil. Mengingat apa yang seharusnya tak perlu terjadi.
Salahkan pada ekstasi, Dai, aku ingat seseorang pernah menyuruhku begitu. Mendengarkan umpatannya sembari membelai-belai kepala. Suara beratnya mengisi gendang telinga. Aku mulai berfantasi sebagaimana peserta purgatori. Agaknya ini lantaran endorfin. Hormon yang kudengar-dengar akan melompok kala menuju ajal.
Dari tegel putih kamar mandi, pikiranku melarikan diri. Mencari memori yang membuatku terkikik sendiri. Terduduk di samping bathtub. Bertanya, apakah Ma akan mencariku?
Seperti saat kami bertiga bermain petak-umpet. Aku selalu memperhatikan siasat Jun-yi yang memilih bersembunyi di balik kelir sementara membiarkan Ma merangsek tempat persembunyianku. “Ketahuan kau, Jin!” serunya. Aku terbahak-bahak kala itu, di kolong meja, dengan tangan belepotan krim keju, Ma menyenggol pipiku. Jun-yi yang dengki segera menghambur ke arah kami berdua, tak sengaja menarik serbet meja, hingga kue tar buatan Ma nyaris berjumpalitan.
Keluarga kami begitu lengkap kala itu: Pa, Ma, aku, dan Jun-yi. Tak ada yang lebih sempurna selain bertamasya ke Chungking pada pekan di akhir bulan. Aku ingat pagi itu, Pa pulang dengan sepedanya, tas jinjing lusuh yang terselip di atas sadel. Seakan ia akan membawa pulang berita hebat dari surat kabar yang ditulisnya.
“Dengar Mei, aku baru saja kehilangan pekerjaan. Kau harus meninggalkan Hong Kong,” ujar Pa, lamat-lamat. Berharap diriku dan Jun-yi tak pernah mendengar perdebatan mereka.
“Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini. Sementara kami—”
“Selalu ada yang lebih baik, Mei.”
Ia mengecup bibir Ma lembut. Menengadah dan menarik Jun-yi dalam gendongannya.
Dengan satu kecupan yang mendarat di pipi kiriku, lantas Pa menekan tombol kamera Leica milik kantor di depan restoran kegemaran kami. Berpura-pura tersenyum, nyatanya itu senyum terakhir yang mengantarkan kami kepada barisan imigran gelap di lapangan terbang terbuka.
1997[1] di kalender dinding, Chungking hanya tinggal kenangan. Sampai lembar foto hitam putih tersempal renyuk di celah dompet. Aku hanya bisa ingat keringat yang menitik di pelipis ketika mengantre rou jia mo[2].
*
Kontemplasiku selalu pragmatis, menurut Ma. Seolah-olah ia bisa menebakku lewat rendengan stoples di toko permen. Tapi ketika tanganku tak lagi muat dalam gandengan tangan besarnya, aku tahu, diriku tak lagi sama. Carl—teman samping meja kerjaku—selalu menceritakan hal-hal yang ia anggap berbeda. Mulai dari kegemarannya pada musik trance, mencari pramuria malam di El Morocco, dan berangkat lima menit sebelum subway terakhir berangkat dari statsiun Brooklyn. Di pelipir meja, aku hanya sanggup tergugu, menyelesaikan sketsa terakhir untuk potongan print ads, sembari menyembunyikan perbedaan itu.
Kerancuan pertama kutemukan ketika bersirobok dengan seorang pria di stasiun subway, pagi satu dekade lalu. Ma tak lagi mengantarku menuju lajur tunggu. Hanya beberapa langkah dari rusun tempat kami bermukim, aku menuruni tangga, dan ikut menunggu. Laki-laki itu kujuluki sebagai Pria Oranye. Bukan lantaran warna pakaian atau scarf yang kerap bergayut di lehernya, ia biasa menggunakan parka hitam dan melempar senyum ke arahku.
Oranye adalah hitam yang baru.
Bangir hidungnya masih kuperhatikan ketika kami bertemu kedua kalinya di sebuah toko kelontong, membeli rokok bermerk Winston, dan membagiku satu.
“Kau tidak merokok?” tanyanya.
Aku tak mengenakan seragam kala itu, tapi jelas ia tahu, perawakanku tak lebih dari separuh umurnya. Rikuh kujulurkan jemari, mengapit batang itu, dan menerima sundut dari jungur rokoknya.
Batukku terdengar kontras di tengah kesibukan malam. Ketika hujan merintik jarang di celah kanopi disambut suara klakson di Canal Street. Kami tertawa berdua sementara para pramuniaga masih berteriak menjajakan barang dagangan mereka.
“Apakah ini cara yang benar untuk menghirupnya?” tanyaku.
Ia membetulkan posisi rokokku di tangan kanan. “Seperti ini. Seperti saat kau ingin menggunting kertas. Tapi jangan laporkan aku pada ibumu,” candanya.
Aku tertawa kecil.
“Sungguh.” Ia menyesap rokok miliknya lebih dalam. “Kau perlu sesuatu untuk diingat, Nak. Waktu aku seumurmu, aku melewatkan momen ini. Tidak ada yang mengajariku begini. Kurasa, aku baru saja kehilangan separuh masa mudaku.”
Kami tak perlu label pertemanan untuk memutuskan bersama. Tak perlu nomor ponsel untuk bertukar cerita. Aku hanya perlu tahu menunggu di sisi MBT Broadway Line, ia datang setiap pagi dengan dua gelas styrofoam dan koran yang dikepit pada ketiak kirinya.
“Untukmu,” ujarnya.
Sementara ia membaca artikel headline pada surat kabar, aku sering mencuri lihat padanya. Memikirkan ide hebat yang selalu dipikirkan oleh Sam—satu-satunya temanku di sekolah. Ketika Sam menyukai James Newman, senior kami yang seorang quarterback, ia membuat satu surat untuk laki-laki itu. Menyelipkan kertas renyuk di sela loker, berharap-harap cemas James akan menerima pernyataan cintanya.
Malam itu aku ingat bau hio yang dibakar Ma di depan foto a gong dan a ma[3]. Jun-yi tengah mengerjakan pekerjaan rumah di kamar; aku menggurat sketsa kasar si Pria Oranye pada buku gambar. Tak lupa menyematkan kalimat-kalimat manis di ujungnya. Aku tidak pernah berpikir akan mengikuti tren paling cengeng di sekolah. Tapi toh, akhirnya aku memilih amplop terbaik yang tersisa di laci meja. Melipat kertasnya menjadi dua. Dan berlari ke ruang tengah.
Pukul sembilan Ma pulang dari pabrik tempatnya bekerja. Biasanya aku akan menghambur, berceloteh panjang lebar mengenai pelajaran membosankan hari itu. Namun, malam itu kelotak di depan pintu menandakan dua pasang sepatu.
Aku bersembunyi.
“Jin? A-Yi?” tanya Ma, menyembulkan kepala. Aku hanya sanggup berdiri di balik pintu kamarku. Menahan napas; mendengar suara berat yang sama, yang mengantarku menuju sekolah pagi itu.
“Duduklah di situ, John,” ujar Ma. “Kupikir mereka sudah tidur.”
“O, baiklah.” Ia mengambil tempat di kursi kesayanganku. Melontarakan candaan bukan untukku. Sedangkan jemariku baru saja melisutkan kertas dan pantalon.
Aku berharap untuk lupa, melupakan masa mudaku, melupakan pria bernama John itu, pria yang mencium Ma di depan mataku, sehingga yang dapat kuingat dan kusimpan seorang diri adalah kepelikan dan perbedaanku.
*
Terkadang aku iri pada Jun-yi. Adik laki-lakiku hanya perlu tersenyum lebih banyak agar orang-orang menyukainya. Membiarkan orang membaca rendengan gigi ketimbang juluran lidahnya. Semudah itu, lantas kesalahannya tak lagi diperhitungkan. Jun-yi punya siasat tersendiri, alih-alih tak suka pada ayah baru kami.
Aku bukan tipe yang pandai bermanis mulut. Bertahan di bawah satu rundungan atap dan bertukar cerita. John masih senang menjejali persediaan Winston-nya ke saku jinsku sembari berpesan, “Kau perlu relaks sedikit, Nak.”
Omong kosong.
Beranjak delapan belas tahun yang kupikirkan hanyalah berekspansi. Keluar dari kelir yang selalu membuatku berfantasi; menerka warna-warni di setiap pria yang kujumpai. Mengecat rambutku biru. Lantas membuat Ma murka.
Sudah terlalu sering aku mengabaikan telepon-telepon darinya.
“Angkat teleponmu, Jin!” Beberapa tahun silam Ma hanya membentak, tapi Natal kemarin ia mengumpat. “Keparat! Angkat teleponmu! Kau perlu seseorang, Jin. Tidakkah kau ingin mengunjungiku sekali saja?”
Ma pandai membikin intrik. Memikirkan siapa yang kelak akan kaunikahi dan apakah ia datang dari keluarga satu ras yang bersahaja. Namun, yang kupikirkan tak lebih dari tamat kuliah dan bekerja. Mengantongi predikat sarjana lantas bekerja di agensi iklan terbaik. Aku selalu mengiriminya lebih banyak uang. Berharap ia keluar dari pekerjaan gila itu. Pabrik tak serta-merta membuatnya kaya. Sementara Jun-yi hanya membuka toko kelontong bersama Mei Yee, istrinya. Tapi, topik yang ia ungkap tak lebih ‘penyakit’-ku. Ma selalu menganggap anak laki-laki sulungnya terjangkit penyakit. Penyakit yang membuatnya lupa kalau ia punya seorang ibu di rumah dan alpa soal jati dirinya.
Ma berharap teleponnya dapat mengobatiku. Dengan satu per satu wanita yang ia rendengkan pada kencan buta dan jampi-jampi tololnya di depan foto a gong serta a ma. Lantas aku akan menarik busana mereka dari celana ke bawah.
Percuma saja. Jika aku penasaran, lebih baik aku berkawan dengan Carl.
Tak perlu tip, Carlisle sudah menjadi ‘pakar’ di bidangnya. Ia membawa kami berdua—Jean dan aku—ke El Morocco. Tempat yang katanya bikin mabuk kepayang. Dan aku memang mabuk kepayang setelah ia racuni dengan kanabis dan Budweiser.
Keparat.
“Kau masih kuat, Bung?” tanya Carl, tertawa-tawa di tengah musik yang membikin pusing kepala. Aku tak benar-benar ingat apa yang terjadi malam itu. Kami berpisah di penghujung Broadway Avenue. Jean dijemput kekasihnya; Carl masih menikmati belaian pramuria; dan aku pulang setelah nyaris terjungkal dari telundakan tangga. Menaiki kereta F. Lantas, yang kuingat adalah kunci sialan yang macet di pintu kondo.
“Please, help!” sergahku, yang agaknya terdengar cengeng. Entah pukul berapa kala itu. Mungkin aku sedikit frustasi, yang pasti aku ingin lekas-lekas ke kamar mandi semenjak perutku mengadakan orasi.
Tetapi, kunci itu enggan lepas dari slot pintu. “Arrgh!” Persetan kunci. Persetan. Aku baru saja hendak memutarnya ke kanan. Bersamaan dengan bunyi derak dan rasa pengar yang makin menjadi.
Isi perutku sukses menjadi tontonan publik. Menu makan malam tumpah ruang di lorong lantai tiga. Dan aku seakan-akan mati rasa. Mengecek ponsel. Kesadaranku baru saja kembali, sembari frustasi entah harus menelepon siapa. Locksmith langganan Ma agaknya sudah tutup sedari pukul lima. Lagi pula, tak mungkin ia mau menaiki subway menuju Harlem di tengah malam.
Kucoba menghubungi Carl, sambunganku diteruskan ke pesan suara. Pun dengan Jean. Mengintip ke lorong koridor. Tak ada seorang pun yang terbangun dengan umpatanku barusan. Aku terduduk lemas. Menghidu bau busuk plus alkohol yang menguar jadi satu.
*
Sebutkan satu alasan hebat yang mampu membuatku berhenti mengumpat. Setelah menyesap puluhan batang Winston dan menyisakan ampas puntungnya di muka pintu. Seorang laki-laki asing menyembul di balik birai tangga. Rambutnya basah kuyup, sweater yang tersampir di punggungnya pun tak kalah naas digelontor hujan.
“Sorry?” tanyanya dengan alis bertaut.
Ia menggigil kedinginan. Sementara aku bangkit tergopoh-gopoh, nyaris tersedak liur. “Kunciku patah di kenop pintu,” ujarku sembari menggosok kedua tangan di sisi celana.
“Pintu?” Tatapannya terlempar ke arah pintu, wajahku, dan pekarangan koridor yang baru kubuat onar.
“Iya, pintu kondoku. Kunci itu tersangkut di sana.” Aku sengaja memberikan embel-embel gestur supaya ia percaya kalau pria di hadapannya baru saja ditiban musibah.
Tak banyak bicara, laki-laki itu beringsut mendekati pintu. Mengeluarkan anak kunci lain dari saku. Menarik kenopnya, namun sia-sia saja, sudah kukatakan ‘kan kunciku tersangkut di pintu—
“Tiga belas,” ujarku lamat-lamat.
“Iya, tiga belas. Nomor pintuku.” Napasnya terdengar berat. Sementara ia masih memerhatikan limpasan muntah di atas parket; aku menggaruk tengkuk pura-pura tak ikut menahu.
“Sorry soal itu.” Mau tak mau aku minta maaf. “Aku baru saja pulang dari El Morocco. Nomor pintuku dua puluh tiga.” Benar, Einstein. Nomor kondoku dua puluh tiga alias perlu tiga belas anak tangga lagi untuk berdiri di pintunya.
Ia tidak membalas perkataanku, alih-alih, sibuk membersit ingus dan mengecek ponsel di saku celana. Mati. Aku bisa lihat layar gelapnya dari seberang sini. Menerka-nerka kalau ia lebih membutuhkan bantuan ketimbang aku yang tertangkap basah muntah di depan kondo tetangga.
“Aku sudah coba menelepon locksmith langganan, agaknya ini sudah terlalu malam.”
“Ah, baiklah—siapa namamu?”
“Dai. Bagaimana jika kita beranjak ke lantai atas?” tanyaku, sedikit mencuri lihat ke matanya. “Aku yakin, kau membutuhkan pakaian ganti.”
Semudah dan sedari itulah aku tahu namanya Jesse. Laki-laki berambut pirang dengan tinggi tak lebih dari lima kaki. Malam memalukan itu adalah pertemuan pertama kami, kendati ia sudah menjadi penghuni tetap lantai satu lebih dari dua tahun lamanya.
Jesse benci asap rokok. Sedari bokongnya terperenyak di sofa ruang duduk, ia sudah terbatuk-batuk. Saat kuangsurkan Winston, ia bilang alergi, alih-alih lebih tertarik pada koleksi piringan hitam di cupboard sebelah pintu.
“Ini milkmu?” tanyanya.
Aku masih mengaduk-aduk lemari pakaian sementara jemarinya meramban satu per satu koleksi vinyl-ku. “Radiohead, Oasis, Velvet Underground, …” aku mendengarnya berbisik-bisik kecil.
Jesse tak perlu kata ‘silakan’ untuk memilih piringan yang ia suka. Dua kali degup kecil dari speaker gramofon, suara Englebert Humperdinck langsung terdengar sayup.
“Kau menyukai Humperdinck?” tanyaku, mengangsurkan baju bersih padanya.
“Setidaknya aku tahu namanya. Mom menyukai lagu-lagunya semasa ia muda.”
Aku tersenyum; ia meletakkan bajuku di atas sofa. Membuka satu per satu kancing button-down-nya. Buru-buru kugapai kotak merah di samping jendela. Rokok cadanganku kalau-kalau terserang panik mendadak.
“Apa kau punya hal lain selain rokok di tempat ini?”
“Iya?” Tak jadi menyelomot batang pertama, rokok itu hanya terganjal di celah bibirku.
Ia tertawa. Aku tahu ini situasi yang kacau. Tapi, Carl—si teman terdekatku saat ini—pun tak pernah sefrontal itu. Membuka bajunya terang-terangan tanpa aba-aba. Membuatku merasakan sensasi pelik, persis ketika melirik hidung bangir Pria Oranye puluhan tahun lalu.
*
Jesse selalu bersikap spontan semenjak pertama kali kami bertemu. Ia akan bilang ‘tidak’ jika memang membencinya. Tidak ada eufemisme kalau kami bertengkar hebat. Namun, ia selalu bertoleransi ketika kami bercinta.
Saat kami duduk berdua, yang ia bicarakan hanyalah sastra. Membandingkan Alan Ginsberg[4] yang gila dengan Kerouac yang lebih counterculture, katanya. Ia membiarkan aku merokok sedikit. Kendati mulutnya tak berhenti bicara, terbatuk sesekali, mengobrolkan kerja paruh waktunya di McNally Jackson, sebuah toko buku mungil dengan konter bar seadanya. Sementara pada pagi hari ia bekerja menjadi guru honorer di sebuah sekolah swasta. Aku sering menjahilinya dengan sebuah pertanyaan: “Apa yang kau ajarkan pada murid-murid, huh?” Sembari menggosok-gosok tungkai hidung di punggung telanjangnya. “Apa kau ajarkan ini pada mereka?”
Ia akan tergelak seorang diri. Menarikku ke dalam pelukannya. Aku mulai memperhatikan jemari kakinya. Langkah-langkah besar yang ia ambil sembari membelah sore; berganti kereta dengan alfabetika acak; mulai dari stasiun SoHo hingga ke 5th Avenue.
Jesse mengembalikan t-shirt sore itu. Saat lantai kami nyaris kopong meninggalkan diriku dan Jean. Aku terpaksa mengambil lembur untuk uang saku ekstra. Mengejar deadline sebuah print ads milik merk shampoo terkenal. Mulanya kupikir, Jesse akan menyuruh kurir antar supercepat, sampai rambut pirangnya menyembul dari balik pintu lift, dan suara tak asing itu memanggil namaku. “Dai?”
Tepat di saat ia mengangsurkan benda itu; aku masih sibuk bermain pena pada tablet Wacom di meja Carl. Jean membentak dan beringsut menjejali kursiku. “Kau mendapat kiriman, Bung.” Jean sengaja membuatku terangsang dengan memajukan bibirnya yang dipoles gincu biru.
“Kau baru dikejar tagihan kartu kredit ya?” Aku mendengus.
“Aku harap begitu, sayangnya aku masih harus terus berdoa untuk mendapatkan debt-collector macam dirinya.” Kepala Jean mengedik. Dan mata kami pun bersirobok sedari jauh.
Aku mempersilakan Jesse masuk. Pakaiannya selalu seperti itu. Bukan Vans seperti diriku. Loafer-nya selalu licin. Dan sampiran sweater pada bahu bidangnya. Ia mengingatkan pada dini hari ketika kami bertemu.
“Kantor sudah tutup sepertinya?” Ia mengerling ke kanan-kiri.
“Sebentar lagi. Tinggal menunggu juru kunci.”
Jesse sudah terperenyak di kursi putarku; aku buru-buru melengos ke pantry; menyeduh dua mug kopi.
“Ingin manis atau pahit?”
“Entahlah.” Bahunya mengedik. “Sama saja. Mungkin pahit? Kopi memang tak cocok untuk senja hari.”
“Sorry, kami tak memiliki bir di sini.”
Jesse tak begitu mengacuhkanku. Dengan ketukan-ketukan ringan pada telunjuknya di birai kursi, ia berputar-putar, memerhatikan setiap celah pada meja kerjaku. Satu per satu lembar kalender ia preteli, pun dengan sketsa ide yang baru melompat dari otakku.
“Ada yang menarik?” Aku serta-merta duduk di permukaan meja.
Ia tersenyum, menerima mug panas yang masih mengepul. Menyeruputnya sedikit sembari melayangkan tatapan menggantung. “Apa itu dirimu dan adik laki-lakimu?” tanyanya.
“Iya?”
Ia menarik foto itu dari permukaan kotak dokumen. Mengetuk tiga kali di lembar lusuh itu sebelum mengacung-acungkannya tepat di hadapanku. “Kau terlihat konyol dulu,” celetuknya.
“Yang benar saja? Mana? Sini coba kulihat.” Aku hendak merebutnya.
“Ibumu tampak cantik. Di mana dia sekarang?”
“Itu foto puluhan tahun lalu.” Aku pura-pura sibuk dengan mug kopiku sembari bersilang kaki.
“Sepertinya bukan diambil di sini. Brooklyn?”
Aku tertawa pahit. “Tidak ada Brooklyn, Bung. Itu hanya Chungking. Sebelum masa krisis. Dan sebelum orangtuaku bercerai.”
“Jadi kau imigran dari Hong Kong?” Alisnya separuh berjungkit.
“Apa kau tak mencurigai aksenku?”
Sejauh pengetahuanku, Dai-jin bukan seorang juru cerita. Bicara seminim mungkin, kalau bisa meninggalkan impresi buruk. Dan seseorang bernama Jesse baru saja melucuti pengakuan dari bibirnya. Aku benar-benar tak percaya akan mengatakan perihal John kepada Jesse, menceritakan perkara Ma yang lebih membanggakan Jun-yi dan toko kelontongnya, serta istri berparas cantik. Dan respons laki-laki di hadapanku hanya sebatas, “Wow! Bung! Tenang sedikit.”
Aku yakin, Jesse bisa menjadi teman yang baik, sama halnya ketika perkenalanku dengan Carl dan Jean. “Jadi, apa aku bisa meminta fotoku kembali?” Aku mengulurkan sebelah tangan padanya.
“Aku tahu, kau marah besar dengan ibumu. Tapi, percaya padaku, kau masih menyayanginya.”
Aku melirik jauh ke arah dispenser di sudut ruangan, berusaha menghindari tatapannya. Mengumpan tawa kecut sementara ia masih memutar-mutar foto keluargaku di depan hidung bangirnya.
“Buktinya kau masih menyimpan foto lusuh ini.” Jesse berlagak memerhatikan foto renyuk itu sekali lagi. “Dan kau pulang larut malam setiap hari. Apa itu untuk ibumu?”
Aku tak menjawab. Carl tak pernah menceramahiku dengan tuduhan jeniusnya—kendati ia bekerja di bagian research. Dan Jesse datang begitu saja, membuatku kehabisan kata.
“Bisa kita akhiri ini sekarang?”
Aku berniat beranjak; meletakkan mug di pantry. Jika kami bisa melompati perbincangan ini, agaknya aku bisa melupakan kalimat-kalimatnya.
Jesse menarik tanganku. “Tidak semua hal bisa diperoleh dengan uang, Dai. Termasuk hati ibumu.”
“Baiklah.” Bibirku mengulum senyum. “Bisa tolong kembalikan fotoku?”
“Mmm, sepertinya tidak.” Jesse menarik foto itu kembali, menjejalkannya ke saku celana, dan melengos begitu saja.
“Hei! Jes!”
“Kau bisa membawa pekerjaan minggu depan ke rumah. Aku melihat tenggat waktunya di sana.”
Perkataan Jesse tak ayal memaksaku tergopoh-gopoh menyejajari langkah pendeknya. Tidak ada kerja lembur untuk pertama kalinya dalam tiga tahun. Kami hanya berkelilingi blok sebanyak lima kali, membeli sedikit jajanan food truck yang terparkir di sisi trotoar. Ia orang yang cerkas dalam bercakap. Kendati kami tak selalu sepikir—ia membicarakan buku terbaru dan aku membicarakan lelang desain antik di Craiglist[5], Jesse selalu tahu kapan harus berkelakar, menjadikan kisah tragis Pria Oranye-ku menjadi versi miliknya.
*
Sudah terlalu lama bibirku kelu menyimpan jawaban itu. Aku tahu perkataan yang ingin didengarkan Ma. Seperti kata Jesse, ia tak butuh uang. Pekerjaan di pabrik bahkan tak cukup sibuk untuk mengubur harapan itu. Siang ketika kugenggam tangannya, wajahnya pucat seperti hantu.
Jesse tahu rahasia kecilku. Saat kusulut batang pertama selepas kami bercinta. Asap masih membubung. Dan yang kuingat adalah air mata milik Ma, jatuh membasahi telapak tanganku.
“Kau merindukannya?” tanya Jesse.
Aku tak menjawab. Menyesap lebih banyak asap. Seakan-akan rokok dapat mengusirnya pergi.
Bersama Jesse, Pria Oranye menjadi lawakan sejati. Namun, saat aku menanggalkan bajuku, menggaulinya berkali-kali. Aku baru saja melakukan bidah yang tak pernah kuingkari selama ini. Aku sengaja bermain dengan lebih banyak kawan. Menjadikan perkataan Ma sebagai angan.
Ma berharap aku kembali ke masa dulu, saat memergokiku mengetes kejantanan bersama Sam. Bercumbu di bawah remang lampu. Aku bermain aman, kendati aku tahu, aku berbeda. Ma menuduhku menggoyahkan iman. Saat kuyakinkan dirinya, ia berdolak-dalik, mencoba segala akal. “Bagaimana dengan kejadian saat itu?”
Yang mana lagi? dengusku dalam hati. Saat kukatakan aku menyukai laki-laki, respons Ma kepalang depresif.
“Tidak mungkin, Jin.” Matanya memejam seolah hendak merapal doa. “Aku mengenalmu sedari kecil. Kau baik-baik saja.” Separuh membersit ingus dengan tisu ruang makan. “Kau pernah berpacaran dengan Samantha,” ujarnya.
Aku ingin tangisnya segera berhenti alih-alih terus menjejalinya dengan kenyataan.
Kembali ke asap-asap selepas kami bercumbu. “Hei, Dai. Kau melamun.” Jesse bertelekan sebelah siku, mengelus daguku. Kupandangi matanya lama-lama. Sementara suara Morrissey masih berputar di speaker gramofon.
“Aku baik-baik saja. Hanya ingin meminta maaf padamu.”
“Untuk apa?”
“Untuk minggu lalu. Aku telah menjadi orang brengsek.” Aku meliriknya sembari tersenyum; mengetuk puntung di pelipir asbak.
Kami bukan bertengkar hebat. Malam ketika ia menciumku di tepi pintu, bibirnya memagut dan aku merasa tak seberani dulu—seperti saat Ma merebut Pria Oranye-ku. Yang kupikirkan adalah balas dendam, hingga Sam merayuku, Ma harus tahu.
Jesse membuatku terdiam.
“Sorry,” ucapnya pelan. Di sela napas yang memburu, menahan dingin New York, dengan telapak di pipiku yang terasa membeku
Aku menangkap semburat itu sambil tersenyum. Ia menekur dalam-dalam, memainkan jungur sepatunya di atas telundakan kayu.
“Jangan meminta maaf,” ujarku, menepuk pipinya. “Ciumanmu tidak buruk. Hanya saja jangan sekarang, Jess. Kau tahu—”
“Iya, tentu. Karena pekerjaanmu. Dan ibumu?” Jesse mengulum senyum pilu.
“Bisa dibilang begitu.”
Aku benci menjadi orang jahat. Mendekap pinggangnya sementara bibirku berkata yang sebaliknya. Mengumbar janji kendati tak mempermainkannya. Kami berpisah dengan tawa kecil malam itu. Berbeda dengan esok harinya, saat aku melambungkan sapa dari lantai dua. Dan ia menanggapinya dengan terburu-buru. Beralasan lupa memasang alarm semalam, yang mana esok harinya atau hari itu ia harus mengajar pada kelas pagi. Singkat kata, ia menyalahkan obrolan dua jam kami, mengelilingi blok terakhir di kawasan West Harlem.
Seminggu sudah aku menjejalkan tubuh ke lift sempit beraroma kopi di pagi hari. Kembali fokus pada kertas-kertas sketsaku. Alih-alih, mendapatkan cercaan dari Jean.
“Kau tahu bos gemuk sialan itu, ‘kan? Idemu terlalu standar, Dai.”
Dan itu sketsa keenampuluhku, keparat.
Malamnya aku pergi pada Carl. Membeli satu pak molly[6], menyedotnya dengan sebelah cuping sembari bermasturbasi. Otakku berkelena begitu jauh. Membayangkan horison di Minnesota. Singkat cerita, aku dan Jesse mengambil trip singkat berdua seperti pasangan gay di film “Happy Together”, tanpa uang dan sebuah mobil butut, berkelana ke Argentina mencari Iguazu. Lantas, aku dan Jesse akan tidur dalam satu ranjang di sebuah motel pengap. Dan ia tertawa-tawa ketika aku membuka satu per satu kancing button-down-nya; menciumnya sekeras yang kubisa; menabrakkan punggungnya ke dinding; mendengarkan desah napas yang tanggal satu per satu dari cuping hidung.
Kami akan bergelung lebih lama, berbagi rokok berdua dan—
Shit.
Telepon di nakas berdering nyaring. Jins sudah kupelorotkan hingga ke pangkal paha. Winston sudah bertemperasan di atas meja. Dan suara itu baru saja menginterupsi fantasi hebat di malam yang begitu payah.
Bukan kata halo tapi, “sialan,” umpat seseorang di seberang sana, dirasuk keretak sambungan telepon pada mesin penjawab. “Sampai kapan kau akan menghindariku? Dai-jin…”
Pura-pura menyumbat telinga; aku mengembuskan napas; melambungkan asap rokok ke pagu.
“Faye menebarkan gosip itu lagi. Kau mengingkari janjimu dengan Qing-he?” sambungnya.
Tarikan napas Ma terasa berat, pun asap yang menggauli paru-paruku. Sudah lima kali Ma merangkai kencan buta dan aku berharap ia berhenti untuk keenam kalinya. Tapi, aku salah. “Amazing 66. Mott Street. Pukul enam sore. Kau harus bertemu dengan Qing-he dan menyelamatkan mukaku.”
Ide itu membuatku tertawa.
“Kau dengar, Jin?! Sampai kapan kau akan begitu? Lihat Jun Yi, adikmu leb—”
Aku lekas menekan tombol stop. Menarik kabel keras-keras, membanting kotak rompal itu bertemperasan di lantai. “Diam! Keparat! Diam!”
Kubersitkan hidungku sekali. Menarik boxer, mengaitkan ritsleting, dan memanggil taksi. Radio di dasbor bisa memperdengarkan tembang lalu dari Bowie, bisik-bisik mengenai rencana lima tahun ke depan. Tapi yang kuinginkan adalah malam ini. Mengendus lehernya. Mencecap kulitnya. Dan muntah sebanyak-banyaknya.
Agaknya aku mulai teler, salah menerka remang lampu di pelataran jalan. Hatiku berdebar-debar. Kesepuluh jemariku membeku. Sembari mengambil langkah keluar dari taksi, yang kurasakan adalah reka ulang 11/9[7]. Menyambut plang putih itu, aku sukses melihat Jesse mengenakan apron berwarna hitam, tengah menata novel di rak buku.
Aku sempat meninggalkan sedikit tip untuk supir. Namun, yang dapat kukatakan adalah mati rasa. Kakiku begitu ringan melangkah. Bunyi bedebam terdengar nyaring; punggungku terasa nyeri sesaat. Pemandangan tak ubahnya korsel di taman bianglala. Orang-orang melongokkan kepalanya begitu antusias.
Aku tak ingin terlalu lama mengingatnya.
Terlepas sebagai cerita memalukan minggu lalu, Jesse menganggap ceritaku sebagai kelakar paling lucu. “Kau ingat saat itu menghampiriku ke McNally? Kau terpeleset dan muntah besar-besaran di trotoar. Semua pengunjungku lari keluar—gosh, aku harus menghentikan cerita jahat ini.”
Ia menutupi matanya sembari menepuk-nepuk bantal. Dan aku mau tak mau menyunggingkan bibir, berpartisipasi dalam podium komedinya.
“Tapi, hanya dengan cara bodoh itu ‘kan aku dapat memaksaku tidur di ranjangku?”
“Jangan sinting, Dai. Kita tidak melakukan apa-apa malam itu.”
“Aku pasti terlalu teler.”
“Tentu saja. Aku menyedot semuanya. Seperti penyedot debu. Satu pak harusnya untuk satu minggu.”
Kami membicarakan molly dengan begitu mudah. Semudah menyelipkan jemari ke balik selimut dan meraih pinggangnya.
“Wow. Tenang, Kawan. Kau sudah mulai berani ya?” tanyanya.
“Aku mencintaimu, Jess,” sembari berbisik di telinganya. Menampik tangannya yang menahan niatku. Mencium tiap jengkal tubuhnya sembari meredam ketakutan itu. Dai-jin mulai berani rupanya. Tapi, bagaimana dengan kedua mata teduh senja itu. Kombinasi antara tatapan tak percaya dan Dai-jin yang patuh.
Aku tahu, Jesse memang berbeda. Saat kudekap tubuhnya; menatap pagu; lantas, apa yang harus kukatakan pada Ma?
*
Seminggu terakhir aku berhasil merangseki partisi pintu. Menghabiskan tengah malam di balkon. Menyulut sebatang Camel Lights dan menikmati Harlem yang mulai membisu. Angin pada dini hari tak juga membuatku mengantuk, alih-alih, sayup klakson membuatku kian takut. Memikirkan perihal bahagia bercampur rasa bersalah.
Jesse kepalang pulas di kasur. Dengan selimut yang menangkupi separuh tubuhnya. Aku masih memikirkan cara. Apa aku akan terus melarikan diri selamanya?
Telepon itu hadir di penghujung hari kerja. Bukan di sambungan telepon kondo. Jun-yi tahu nomor ponselku. Ia menyapa begitu saja dengan nada ringan seolah tak ada yang terjadi. Dan serta-merta mengetikkan surel untuk alamat di hari Minggu.
Aku perlu mengengok keponakan pertamaku, katanya.
Aku tak ingin berurusan dengan Ma. Tapi ketika ponsel itu dikepit di antara dagu dan pipi, Jesse sedang pura-pura membaca kumpulan puisi sambil meniup cangkir horchata[8]. Matanya mengerling. Berantusias untuk memaksaku pergi ke acara kumpul keluarga.
“Dengan satu syarat, Jess.” Aku melesat, merebut buku tua itu dari tangannya.
“Apa?”
“Aku ingin kau ikut.”
Baru kali itu kulihat air mukanya berubah. Bukan Jesse yang biasanya. Tertawa konyol sekalipun tak ada yang membuatnya merasa lucu. Alih-alih, kami sama-sama tegang saat mengancingkan manset kemeja.
Teringat ketika sepasang telunjuk dan ibu jari mengancingkan kemejaku ketika pernikahan Paman Luo dulu. Ma sengaja membawa hasil jahitan cacatnya ke rumah. Memakaikannya padaku dan Jun-yi satu-satu, lengkap dengan dasi kupu. Tangannya begitu besar mengaitkan kancing pada lubang pertama di bawah dagu.
Aku menatap lurus ke arah depan. Manik sipit itu tergantikan pupil biru milik tetanggaku. Aku tahu, aku terlalu takut untuk mengaku. Jesse nampak begitu tampan dengan balutan kemeja hitamnya dan manset yang tersingkap di siku.
Wajahnya berseri ketika kami bertumpang tangan. Sementara taksi membawa kami menuju Chinatown. Jun-yi memesan sepuluh meja di sebuah restoran Kanton bernama Jing Fong. Sedari menarik pintu pegas, pengang stereo dan tengik pewangi ruangan kontras menguar dari dalam. Lampu jalan tergantikan suasana kuning berderang dengan dekorasi serba-merah menggelambir dari langit-langit.
Jesse mendelikku sejurus. Aku menepuk bahunya sekali.
“Dai-jin!” Jun-yi tengah menggendong keponakanku. Anak laki-laki bernama Po-wing. Liem Po-wing. Mei-yee di sampingnya ikut tersenyum singkat.
“Jun.” Aku memeluknya dengan begitu hangat. “Jesse. Iya, perkenalkan—”
“Ia tetangga keren yang sering kau ceritakan itu?”
“Bisa dibilang begitu.”
Jesse mau tak mau mengulurkan tangan. Jun-yi sempat berbisik-bisik dengan Mei-yee, tapi kujamin ia tak mengerti Bahasa Kanton.
Para kerabat dengan wajah-wajah asing, yang tak pernah kujumpai, ikut berdatangan.
Jesse tersenyum ke arahku, memberikan isyarat ‘tersingkir’, sementara aku terus menyuruhnya untuk berdiri tepat di sebelah situ. Sebelah meja yang pastinya akan segera kuhuni alih-alih ikut berdansa atau sekadar mengikuti nada sumbang dari mesin karaoke.
“Ma merindukanmu,” ujar Jun-yi bersandar pada konter bar.
Aku tak menanggapinya. Mengambil tempat duduk di stool bar. Melirik Ma dari jauh sudah cukup membuatku tergugu. Aku memperhatikan Jesse. Ia masih duduk, menikmati acara dengan batangan sumpit saling silang, sembari membaca buku menu.
“Bagaimana dengan menemuinya?” Jun-yi mengambil satu botol bir hitam dari balik konter.
“Ia sedang sibuk bernyanyi, Jun,” ungkapku.
“Baiklah. Toh kalian akan bertemu. Bicara soal Jesse. Aku menyukainya ‘kan?”
Senyumku sekejap raib. “Bicara apa kau?”
Jemariku mengantung di balik papan, tak jadi meraih bir hitam.
“Aku bukan anak kecil lagi, Dai. Kita semua bukan. Dan Ma pasti akan memahamimu kali ini.”
Jun-yi menceritakan insiden ketidak tersengajaannya mendengar pembicaraan Ma dan diriku senja itu. Saat kukira kami hanya berdua di ruang tengah.
“Aku harap begitu,” suaraku terdengar tenang, kendati jantungku berkebit.
“Dan jangan kau lupa ganti statusnya dari tetangga menjadi kekasihmu.”
Aku berusaha mengusir pergi kata-kata Jun-yi lima menit lalu. Terpernyak pada bantalan kursi yang amblas dan meja dengan taplak berminyak. Jesse sudah kenyang mengisi perut dengan hidangan acar pembuka. Lantas, para kerabat mulai berdatangan mengeriapi meja.
Semuanya baik-baik saja.
Aku pikir begitu. Tapi tidak semudah itu ketika satu tepukan merampok sebuah momen indah. “Selamat datang, Dai.”
Keparat. Sesungguhnya lebih banyak ejaan yang ingin kulontarkan, tapi Jesse buru-buru menggenggam tanganku. Sebentar John bertelekan siku pada bingkai kursi, semakin engaja ia rangkulkan sebelah tangan di leherku.
John tak berbicara banyak. Kuangsurkan satu pak Camel Lights yang tersisa, ia mengangkat tangan. Lucu. Ia baru berhenti, katanya. Seminggu lalu, Ma protes lantaran ia nyaris terserang bronkitis.
Sejurus aku mendelik Jesse—tak peduli memangkas pembicaraan kami. Aku benar-benar perlu mencari udara. Satu hirupan di luar pintu pegas. Elizabeth Street masih bising dilalui kendaraan. Malam tak gerimis seperti biasanya. Temaram lampu membawaku pada perjumpaan pertama dengan Pria Oranye alias ayah tiriku. Dan pikiran nakal itu mencuat begitu saja. Merogoh sudut dompet, aku menemukan persediaan kecil yang selalu diselipkan Carl. Substansi E berkadar rendah. Cukup oleskan di gigi dan lidah. Lantas, sekujur badan relaks seketika. Aku mengetuk-ngetuk kotak biru. Mengambil sebatang rokok untuk diriku. Batu api siap mencucuh ketika bunyi sol terdengar mengetuk pelataran. Tidak ada kanopi raksasa, hanya sanggup mengayomi dua kepala. Lantas, Ma mencium satu per satu pipi tamu undangannya sebelum melirik ke arahku.
Asap melayah rendah. Kukulum bibir sebelum berbicara.
“Jun-yi memberitahuku kalau kau membawa seorang tetangga,” sergahnya serta-merta mengeluarkan suara. Melempar tatapan jauh ke depan, tepat ke arah kendaraan yang berlari kencang. Sejujurnya aku rindu ocehan Ma. Dongeng malam yang selalu dendangkan sebelum mata terpejam.
“Namanya Jesse,” perlahan aku menjawab; menahan pengar yang mulai terasa.
Sejurus Ma tak membalas. Ia sibuk mengeluarkan tisu dari saku, menyeka pelipisnya yang digelontor peluh. Pesta pasti menguras tetangga.
“Dan kau mengabaikan telepon-teleponku untuk tetangga sialanmu?” tanyanya.
Aku membubungkan lebih banyak asap dari cuping hidung.
“Sorry, Ma. Bisa kita tidak membahas persoalan ini? Aku lebih ingin tahu kabarmu. Dan apa kau masih bekerja di pabrik gila itu?”
“Kenapa? Kupikir kau tak pernah ingin tahu.” Ia mendengus. Tertawa skeptis seolah aku tak pernah peduli, kendati selalu mengirimkannya uang sebulan sekali.
“Aku selalu peduli, Ma.” Kugigit bibir bawah. Berusaha menahan amarah. Jauh di dalam pikiranku, aku selalu memikirkan perkataan Jesse dan Jun-yi, aku harus bisa membuat Ma yakin dan menerima keputusan itu.
“Omong kosong! Kau peduli apa? Kau hanya peduli memamerkan aib di mata kerabat dan keluarga. Aku tidak habis pikir dengan pikiran kecilmu. Sedari kecil aku sudah baik-baik mengajarmu. Kau pemuda baik-baik, Jin. Apa yang kau cari, huh?”
Napas itu terurai. Bersamaan dengan asap. Ma serta-merta merebut batang lencir dariku. Mengempaskannya ke trotoar. Dan menandaskannya dengan sol lancipnya.
“Siapa yang mengajarimu merokok? Membuat otakmu berkarat!”
Dalam hati aku ingin mengadu. Tapi lihat tinggiku, bahkan nyaris menyentuh kerai kanopi. Dan aku ingin mengadu? Sialan, John. Lihat pria kebanggaannya. Kebanggan keluarga yang hanya bisa merokok hingga paru-parunya rompal.
“Aku tak ingin berdebat,” jawabku cepat-cepat. Jatungku makin berkebit. Mata sedikit berkunang-kunang. Efek E memang kepalang hebat.
“Baiklah. Aku pun tidak ingin. Tapi, kau selalu berpura-pura lupa.”
“Aku tak ingin kau mengatur kencan buta dengan wanita-wanita itu.”
“Kenapa?”
“Kau sudah tahu jawabannya, Ma. Kenapa kau tidak bisa menerima? Jun-yi tahu dan kau akan terus pura-pura menutup telinga?”
“Tidak ada yang perlu kuterima, Jin. Kau baik-baik saja. Demi para dewa. Sekali saja kau harus mendengarkan kata-kataku.”
Kami tak pernah bertengkar sedemikian hebat. Menjadi tontonan dari dua blok yang tertinggal. Dari bising kendaraan yang dipacu lekas-lekas. Seseorang pasti dapat mengendus hawa pertengkaran. Lengkingan yang Ma utarakan. Telunjuk yang ia lacur tinggi-tinggi seolah aku lima tahun kembali.
Kali itu aku frustasi.
“Ikut aku, Jin! Ikut aku! Beritahu Qing-he kau akan menemuinya besok!”
Ia baru menjinjing rok panjangnya sembari menarik tanganku. Entah setan apa yang merasuki dirinya.
“Hentikan, Ma!”
“Tidak, Jin. Ikut aku! Keparat!” Umpatan itu datang bertubi-tubi.
Aku sempat separuh terseret. Menuruni telundakan aspal sembari mengambang akibat efek psikotropika. Ma melenggang begitu saja menyebrangi jalan. Sebagian mobil mengklakson, namun lampu itu datang menyatron kepalang cepat. Dan membuat tangan kami seketika terlepas. Ma terlempar. Menabrak kaca depan. Sedang aku terpental ke arah yang berlawanan. Pinggangku menabrak birai trotoar.
Kepalaku masih berputar. Pintu pegas dijejali orang. Tak tahu apa yang membuatku menangis. Air mata tiba-tiba mencuat. “Ma! Mama!”
Aku melihat darah itu menggenang di permukaan aspal.
“Siapapun panggil 911!”
Merangkak dengan timpang. Kepala Ma makin banyak mengeluarkan darah. Penglihatanku makin samar. Berkebalikkan dengan rasa sakit di sekujur tangan kanan.
Sekejap Ma nampak sumringah dengan matanya yang terbelalak. Tangannya tak lagi terbujur kaku, alih-alih, jemari lentiknya menyambut tanganku. Hingga akhirnya kami berenang-renang di atas limpasan. Bukan di atas aspal. Seseorang pasti membawa kami jauh. Ke dalam satu kompartemen sempit berwarna putih dengan kloset dan bau pesing.
“Dai, Daijin! Tolong buka pintunya?!” Bunyi bedebam itu nyaris memekakkan telinga. “Shit! Dai! Buka pintu keparat ini!”
Aku melihat rambut pirang itu menyembul dari balik pintu. “Daijin? Apa yang kaulakukan?”
Derai air di keran seketika membuatku alpa. Napasku memburai. Desah cepat yang nyaris tanggal. Jesse. Aku dapat mengenalinya kendati samar.
“Dai, lihat mataku. Lihat! Apa yang kaulakukan dengan pisau cukur itu?”
Aku tersenyum. Bukankah ini praktis? Seperti menyeduh kopi di pantry.
-fin.
[1] Tahun yang mana krisis ekonomi melanda Asia
[2] Chinese hamburger
[3] kakek dan nenek
[4] Alan Ginseberg dan Kerouac merupakan dua penulis yang termasuk dalam era Beat atau sering disebut sebagai Beat Generation. Karya-karyanya berkenaan dengan konten seksual, budaya counterculture, dan keterlibatan obat-obatan psychedelic.
[5] forum jual-beli, mencari tempat tinggal, atau lowongan kerja
[6] MDMA; 3,4-methylenedioxy-methamphetamine atau lebih sering disebut sebagai ekstasi.
[7] merujuk pada peristiwa penyerangan 11 September 2001; warga Amerika dikejutkan oleh peristiwa penabrakan pesawat ke gedung kembar WTC yang diprakarsai oleh jaringan teroris Al-Qaeda
[8] minuman yang berasal dari Spanyol tetapi cukup populer di kota-kota besar di Amerika. Terbuat dari campuran sari almond, biji wijen, beras, dan biji-bijian lainnya.
______________
A/N: Untuk Macklemore & Ryan Lewis, Simple Plan, The 1975 dan Smashing Pumpkins. Air mata ibu memang yang paling inspiratif. Maafkan untuk menjadi yang bukan paling baik. Untuk Fai dan Po-wing, lekas temukan Iguazu.