SEPERTI MENYEDUH KOPI DI PANTRY.

Tidak ada yang salah di dunia ini jika setiap orang menganggap dirinya selalu benar. Kalau Jean pernah bilang takaran kopi yang pas adalah dua sendok teh ditambah satu sendok teh krimer; jangan terlalu banyak air panas, terlebih menghambur ke pelipir cangkir. Carl tak ingin kalah pamor memarkir coffee maker instan yang baru ia beli kemarin di pantry kantor, berikut dengan embel-embel kopi instan berbagai rasa; tidak perlu krimer. Takaran-takaran semacam itu sudah didoktrin dari pabrik. Tinggal tekan. Otomatis meluruh dari corong menuju cangkir. Sungguh praktis.

Andai perkara semacam itu diterapkan ke berbagai hal. Semudah menggunting bungkus kopi, pun menghunus pisau cukur di tangan kiri. Semudah saat Jean menyeduh kopi pertamanya di pagi hari; aku menghirup bubuk putih.

Tegel di bawah jemari kaki terasa beku. Celah di jemari kuku seakan menunggu. Sebentar-sebentar telunjukku maju—aku tak yakin. Sembari melempar tatapan ke depan. Bayangan memalukan itu menyembul kembali di permukaan cermin. Dengan kantung mata menggumpal di bawah pupil. “Hih,” ujarku pada diri sendiri.

Aku melempar tawa kecil. Mengingat apa yang seharusnya tak perlu terjadi.

Salahkan pada ekstasi, Dai, aku ingat seseorang pernah menyuruhku begitu. Mendengarkan umpatannya sembari membelai-belai kepala. Suara beratnya mengisi gendang telinga. Aku mulai berfantasi sebagaimana peserta purgatori. Agaknya ini lantaran endorfin. Hormon yang kudengar-dengar akan melompok kala menuju ajal.

Dari tegel putih kamar mandi, pikiranku melarikan diri. Mencari memori yang membuatku terkikik sendiri. Terduduk di samping bathtub. Bertanya, apakah Ma akan mencariku?

Seperti saat kami bertiga bermain petak-umpet. Aku selalu memperhatikan siasat Jun-yi yang memilih bersembunyi di balik kelir sementara membiarkan Ma merangsek tempat persembunyianku. “Ketahuan kau, Jin!” serunya. Aku terbahak-bahak kala itu, di kolong meja, dengan tangan belepotan krim keju, Ma menyenggol pipiku. Jun-yi yang dengki segera menghambur ke arah kami berdua, tak sengaja menarik serbet meja, hingga kue tar buatan Ma nyaris berjumpalitan.

Keluarga kami begitu lengkap kala itu: Pa, Ma, aku, dan Jun-yi. Tak ada yang lebih sempurna selain bertamasya ke Chungking pada pekan di akhir bulan. Aku ingat pagi itu, Pa pulang dengan sepedanya, tas jinjing lusuh yang terselip di atas sadel. Seakan ia akan membawa pulang berita hebat dari surat kabar yang ditulisnya.

“Dengar Mei, aku baru saja kehilangan pekerjaan. Kau harus meninggalkan Hong Kong,” ujar Pa, lamat-lamat. Berharap diriku dan Jun-yi tak pernah mendengar perdebatan mereka.

“Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini. Sementara kami—”

“Selalu ada yang lebih baik, Mei.”

Ia mengecup bibir Ma lembut. Menengadah dan menarik Jun-yi dalam gendongannya.

Dengan satu kecupan yang mendarat di pipi kiriku, lantas Pa menekan tombol kamera Leica milik kantor di depan restoran kegemaran kami. Berpura-pura tersenyum, nyatanya itu senyum terakhir yang mengantarkan kami kepada barisan imigran gelap di lapangan terbang terbuka.

1997[1] di kalender dinding, Chungking hanya tinggal kenangan. Sampai lembar foto hitam putih tersempal renyuk di celah dompet. Aku hanya bisa ingat keringat yang menitik di pelipis ketika mengantre rou jia mo[2].

*

Kontemplasiku selalu pragmatis, menurut Ma. Seolah-olah ia bisa menebakku lewat rendengan stoples di toko permen. Tapi ketika tanganku tak lagi muat dalam gandengan tangan besarnya, aku tahu, diriku tak lagi sama. Carl—teman samping meja kerjaku—selalu menceritakan hal-hal yang ia anggap berbeda. Mulai dari kegemarannya pada musik trance, mencari pramuria malam di El Morocco, dan berangkat lima menit sebelum subway terakhir berangkat dari statsiun Brooklyn. Di pelipir meja, aku hanya sanggup tergugu, menyelesaikan sketsa terakhir untuk potongan print ads, sembari menyembunyikan perbedaan itu.

Kerancuan pertama kutemukan ketika bersirobok dengan seorang pria di stasiun subway, pagi satu dekade lalu. Ma tak lagi mengantarku menuju lajur tunggu. Hanya beberapa langkah dari rusun tempat kami bermukim, aku menuruni tangga, dan ikut menunggu. Laki-laki itu kujuluki sebagai Pria Oranye. Bukan lantaran warna pakaian atau scarf yang kerap bergayut di lehernya, ia biasa menggunakan parka hitam dan melempar senyum ke arahku.

Oranye adalah hitam yang baru.

Bangir hidungnya masih kuperhatikan ketika kami bertemu kedua kalinya di sebuah toko kelontong, membeli rokok bermerk Winston, dan membagiku satu.

“Kau tidak merokok?” tanyanya.

Aku tak mengenakan seragam kala itu, tapi jelas ia tahu, perawakanku tak lebih dari separuh umurnya. Rikuh kujulurkan jemari, mengapit batang itu, dan menerima sundut dari jungur rokoknya.

Batukku terdengar kontras di tengah kesibukan malam. Ketika hujan merintik jarang di celah kanopi disambut suara klakson di Canal Street. Kami tertawa berdua sementara para pramuniaga masih berteriak menjajakan barang dagangan mereka.

“Apakah ini cara yang benar untuk menghirupnya?” tanyaku.

Ia membetulkan posisi rokokku di tangan kanan. “Seperti ini. Seperti saat kau ingin menggunting kertas. Tapi jangan laporkan aku pada ibumu,” candanya.

Aku tertawa kecil.

“Sungguh.” Ia menyesap rokok miliknya lebih dalam. “Kau perlu sesuatu untuk diingat, Nak. Waktu aku seumurmu, aku melewatkan momen ini. Tidak ada yang mengajariku begini. Kurasa, aku baru saja kehilangan separuh masa mudaku.”

Kami tak perlu label pertemanan untuk memutuskan bersama. Tak perlu nomor ponsel untuk bertukar cerita. Aku hanya perlu tahu menunggu di sisi MBT Broadway Line, ia datang setiap pagi dengan dua gelas styrofoam dan koran yang dikepit pada ketiak kirinya.

“Untukmu,” ujarnya.

Sementara ia membaca artikel headline pada surat kabar, aku sering mencuri lihat padanya. Memikirkan ide hebat yang selalu dipikirkan oleh Sam—satu-satunya temanku di sekolah. Ketika Sam menyukai James Newman, senior kami yang seorang quarterback, ia membuat satu surat untuk laki-laki itu. Menyelipkan kertas renyuk di sela loker, berharap-harap cemas James akan menerima pernyataan cintanya.

Malam itu aku ingat bau hio yang dibakar Ma di depan foto a gong dan a ma[3]. Jun-yi tengah mengerjakan pekerjaan rumah di kamar; aku menggurat sketsa kasar si Pria Oranye pada buku gambar. Tak lupa menyematkan kalimat-kalimat manis di ujungnya. Aku tidak pernah berpikir akan mengikuti tren paling cengeng di sekolah. Tapi toh, akhirnya aku memilih amplop terbaik yang tersisa di laci meja. Melipat kertasnya menjadi dua. Dan berlari ke ruang tengah.

Pukul sembilan Ma pulang dari pabrik tempatnya bekerja. Biasanya aku akan menghambur, berceloteh panjang lebar mengenai pelajaran membosankan hari itu. Namun, malam itu kelotak di depan pintu menandakan dua pasang sepatu.

Aku bersembunyi.

“Jin? A-Yi?” tanya Ma, menyembulkan kepala. Aku hanya sanggup berdiri di balik pintu kamarku. Menahan napas; mendengar suara berat yang sama, yang mengantarku menuju sekolah pagi itu.

“Duduklah di situ, John,” ujar Ma. “Kupikir mereka sudah tidur.”

“O, baiklah.” Ia mengambil tempat di kursi kesayanganku. Melontarakan candaan bukan untukku. Sedangkan jemariku baru saja melisutkan kertas dan pantalon.

Aku berharap untuk lupa, melupakan masa mudaku, melupakan pria bernama John itu, pria yang mencium Ma di depan mataku, sehingga yang dapat kuingat dan kusimpan seorang diri adalah kepelikan dan perbedaanku.

*

Terkadang aku iri pada Jun-yi. Adik laki-lakiku hanya perlu tersenyum lebih banyak agar orang-orang menyukainya. Membiarkan orang membaca rendengan gigi ketimbang juluran lidahnya. Semudah itu, lantas kesalahannya tak lagi diperhitungkan. Jun-yi punya siasat tersendiri, alih-alih tak suka pada ayah baru kami.

Aku bukan tipe yang pandai bermanis mulut. Bertahan di bawah satu rundungan atap dan bertukar cerita. John masih senang menjejali persediaan Winston-nya ke saku jinsku sembari berpesan, “Kau perlu relaks sedikit, Nak.”

Omong kosong.

Beranjak delapan belas tahun yang kupikirkan hanyalah berekspansi. Keluar dari kelir yang selalu membuatku berfantasi; menerka warna-warni di setiap pria yang kujumpai. Mengecat rambutku biru. Lantas membuat Ma murka.

Sudah terlalu sering aku mengabaikan telepon-telepon darinya.

“Angkat teleponmu, Jin!” Beberapa tahun silam Ma hanya membentak, tapi Natal kemarin ia mengumpat. “Keparat! Angkat teleponmu! Kau perlu seseorang, Jin. Tidakkah kau ingin mengunjungiku sekali saja?”

Ma pandai membikin intrik. Memikirkan siapa yang kelak akan kaunikahi dan apakah ia datang dari keluarga satu ras yang bersahaja. Namun, yang kupikirkan tak lebih dari tamat kuliah dan bekerja. Mengantongi predikat sarjana lantas bekerja di agensi iklan terbaik. Aku selalu mengiriminya lebih banyak uang. Berharap ia keluar dari pekerjaan gila itu. Pabrik tak serta-merta membuatnya kaya. Sementara Jun-yi hanya membuka toko kelontong bersama Mei Yee, istrinya. Tapi, topik yang ia ungkap tak lebih ‘penyakit’-ku. Ma selalu menganggap anak laki-laki sulungnya terjangkit penyakit. Penyakit yang membuatnya lupa kalau ia punya seorang ibu di rumah dan alpa soal jati dirinya.

Ma berharap teleponnya dapat mengobatiku. Dengan satu per satu wanita yang ia rendengkan pada kencan buta dan jampi-jampi tololnya di depan foto a gong serta a ma. Lantas aku akan menarik busana mereka dari celana ke bawah.

Percuma saja. Jika aku penasaran, lebih baik aku berkawan dengan Carl.

Tak perlu tip, Carlisle sudah menjadi ‘pakar’ di bidangnya. Ia membawa kami berdua—Jean dan aku—ke El Morocco. Tempat yang katanya bikin mabuk kepayang. Dan aku memang mabuk kepayang setelah ia racuni dengan kanabis dan Budweiser.

Keparat.

“Kau masih kuat, Bung?” tanya Carl, tertawa-tawa di tengah musik yang membikin pusing kepala. Aku tak benar-benar ingat apa yang terjadi malam itu. Kami berpisah di penghujung Broadway Avenue. Jean dijemput kekasihnya; Carl masih menikmati belaian pramuria; dan aku pulang setelah nyaris terjungkal dari telundakan tangga. Menaiki kereta F. Lantas, yang kuingat adalah kunci sialan yang macet di pintu kondo.

Please, help!” sergahku, yang agaknya terdengar cengeng. Entah pukul berapa kala itu. Mungkin aku sedikit frustasi, yang pasti aku ingin lekas-lekas ke kamar mandi semenjak perutku mengadakan orasi.

Tetapi, kunci itu enggan lepas dari slot pintu. “Arrgh!” Persetan kunci. Persetan. Aku baru saja hendak memutarnya ke kanan. Bersamaan dengan bunyi derak dan rasa pengar yang makin menjadi.

Isi perutku sukses menjadi tontonan publik. Menu makan malam tumpah ruang di lorong lantai tiga. Dan aku seakan-akan mati rasa. Mengecek ponsel. Kesadaranku baru saja kembali, sembari frustasi entah harus menelepon siapa. Locksmith langganan Ma agaknya sudah tutup sedari pukul lima. Lagi pula, tak mungkin ia mau menaiki subway menuju Harlem di tengah malam.

Kucoba menghubungi Carl, sambunganku diteruskan ke pesan suara. Pun dengan Jean. Mengintip ke lorong koridor. Tak ada seorang pun yang terbangun dengan umpatanku barusan. Aku terduduk lemas. Menghidu bau busuk plus alkohol yang menguar jadi satu.

*

Sebutkan satu alasan hebat yang mampu membuatku berhenti mengumpat. Setelah menyesap puluhan batang Winston dan menyisakan ampas puntungnya di muka pintu. Seorang laki-laki asing menyembul di balik birai tangga. Rambutnya basah kuyup, sweater yang tersampir di punggungnya pun tak kalah naas digelontor hujan.

Sorry?” tanyanya dengan alis bertaut.

Ia menggigil kedinginan. Sementara aku bangkit tergopoh-gopoh, nyaris tersedak liur. “Kunciku patah di kenop pintu,” ujarku sembari menggosok kedua tangan di sisi celana.

“Pintu?” Tatapannya terlempar ke arah pintu, wajahku, dan pekarangan koridor yang baru kubuat onar.

“Iya, pintu kondoku. Kunci itu tersangkut di sana.” Aku sengaja memberikan embel-embel gestur supaya ia percaya kalau pria di hadapannya baru saja ditiban musibah.

Tak banyak bicara, laki-laki itu beringsut mendekati pintu. Mengeluarkan anak kunci lain dari saku. Menarik kenopnya, namun sia-sia saja, sudah kukatakan ‘kan kunciku tersangkut di pintu—

“Tiga belas,” ujarku lamat-lamat.

“Iya, tiga belas. Nomor pintuku.” Napasnya terdengar berat. Sementara ia masih memerhatikan limpasan muntah di atas parket; aku menggaruk tengkuk pura-pura tak ikut menahu.

Sorry soal itu.” Mau tak mau aku minta maaf. “Aku baru saja pulang dari El Morocco. Nomor pintuku dua puluh tiga.” Benar, Einstein. Nomor kondoku dua puluh tiga alias perlu tiga belas anak tangga lagi untuk berdiri di pintunya.

Ia tidak membalas perkataanku, alih-alih, sibuk membersit ingus dan mengecek ponsel di saku celana. Mati. Aku bisa lihat layar gelapnya dari seberang sini. Menerka-nerka kalau ia lebih membutuhkan bantuan ketimbang aku yang tertangkap basah muntah di depan kondo tetangga.

“Aku sudah coba menelepon locksmith langganan, agaknya ini sudah terlalu malam.”

“Ah, baiklah—siapa namamu?”

“Dai. Bagaimana jika kita beranjak ke lantai atas?” tanyaku, sedikit mencuri lihat ke matanya. “Aku yakin, kau membutuhkan pakaian ganti.”

Semudah dan sedari itulah aku tahu namanya Jesse. Laki-laki berambut pirang dengan tinggi tak lebih dari lima kaki. Malam memalukan itu adalah pertemuan pertama kami, kendati ia sudah menjadi penghuni tetap lantai satu lebih dari dua tahun lamanya.

Jesse benci asap rokok. Sedari bokongnya terperenyak di sofa ruang duduk, ia sudah terbatuk-batuk. Saat kuangsurkan Winston, ia bilang alergi, alih-alih lebih tertarik pada koleksi piringan hitam di cupboard sebelah pintu.

“Ini milkmu?” tanyanya.

Aku masih mengaduk-aduk lemari pakaian sementara jemarinya meramban satu per satu koleksi vinyl-ku. “Radiohead, Oasis, Velvet Underground, …” aku mendengarnya berbisik-bisik kecil.

Jesse tak perlu kata ‘silakan’ untuk memilih piringan yang ia suka. Dua kali degup kecil dari speaker gramofon, suara Englebert Humperdinck langsung terdengar sayup.

“Kau menyukai Humperdinck?” tanyaku, mengangsurkan baju bersih padanya.

“Setidaknya aku tahu namanya. Mom menyukai lagu-lagunya semasa ia muda.”

Aku tersenyum; ia meletakkan bajuku di atas sofa. Membuka satu per satu kancing button-down-nya. Buru-buru kugapai kotak merah di samping jendela. Rokok cadanganku kalau-kalau terserang panik mendadak.

“Apa kau punya hal lain selain rokok di tempat ini?”

“Iya?” Tak jadi menyelomot batang pertama, rokok itu hanya terganjal di celah bibirku.

Ia tertawa. Aku tahu ini situasi yang kacau. Tapi, Carl—si teman terdekatku saat ini—pun tak pernah sefrontal itu. Membuka bajunya terang-terangan tanpa aba-aba. Membuatku merasakan sensasi pelik, persis ketika melirik hidung bangir Pria Oranye puluhan tahun lalu.

*

Jesse selalu bersikap spontan semenjak pertama kali kami bertemu. Ia akan bilang ‘tidak’ jika memang membencinya. Tidak ada eufemisme kalau kami bertengkar hebat. Namun, ia selalu bertoleransi ketika kami bercinta.

Saat kami duduk berdua, yang ia bicarakan hanyalah sastra. Membandingkan Alan Ginsberg[4] yang gila dengan Kerouac yang lebih counterculture, katanya. Ia membiarkan aku merokok sedikit. Kendati mulutnya tak berhenti bicara, terbatuk sesekali, mengobrolkan kerja paruh waktunya di McNally Jackson, sebuah toko buku mungil dengan konter bar seadanya. Sementara pada pagi hari ia bekerja menjadi guru honorer di sebuah sekolah swasta. Aku sering menjahilinya dengan sebuah pertanyaan: “Apa yang kau ajarkan pada murid-murid, huh?” Sembari menggosok-gosok tungkai hidung di punggung telanjangnya. “Apa kau ajarkan ini pada mereka?”

Ia akan tergelak seorang diri. Menarikku ke dalam pelukannya. Aku mulai memperhatikan jemari kakinya. Langkah-langkah besar yang ia ambil sembari membelah sore; berganti kereta dengan alfabetika acak; mulai dari stasiun SoHo hingga ke 5th Avenue.

Jesse mengembalikan t-shirt sore itu. Saat lantai kami nyaris kopong meninggalkan diriku dan Jean. Aku terpaksa mengambil lembur untuk uang saku ekstra. Mengejar deadline sebuah print ads milik merk shampoo terkenal. Mulanya kupikir, Jesse akan menyuruh kurir antar supercepat, sampai rambut pirangnya menyembul dari balik pintu lift, dan suara tak asing itu memanggil namaku. “Dai?”

Tepat di saat ia mengangsurkan benda itu; aku masih sibuk bermain pena pada tablet Wacom di meja Carl. Jean membentak dan beringsut menjejali kursiku. “Kau mendapat kiriman, Bung.” Jean sengaja membuatku terangsang dengan memajukan bibirnya yang dipoles gincu biru.

“Kau baru dikejar tagihan kartu kredit ya?” Aku mendengus.

“Aku harap begitu, sayangnya aku masih harus terus berdoa untuk mendapatkan debt-collector macam dirinya.” Kepala Jean mengedik. Dan mata kami pun bersirobok sedari jauh.

Aku mempersilakan Jesse masuk. Pakaiannya selalu seperti itu. Bukan Vans seperti diriku. Loafer-nya selalu licin. Dan sampiran sweater pada bahu bidangnya. Ia mengingatkan pada dini hari ketika kami bertemu.

“Kantor sudah tutup sepertinya?” Ia mengerling ke kanan-kiri.

“Sebentar lagi. Tinggal menunggu juru kunci.”

Jesse sudah terperenyak di kursi putarku; aku buru-buru melengos ke pantry; menyeduh dua mug kopi.

“Ingin manis atau pahit?”

“Entahlah.” Bahunya mengedik. “Sama saja. Mungkin pahit? Kopi memang tak cocok untuk senja hari.”

Sorry, kami tak memiliki bir di sini.”

Jesse tak begitu mengacuhkanku. Dengan ketukan-ketukan ringan pada telunjuknya di birai kursi, ia berputar-putar, memerhatikan setiap celah pada meja kerjaku. Satu per satu lembar kalender ia preteli, pun dengan sketsa ide yang baru melompat dari otakku.

“Ada yang menarik?” Aku serta-merta duduk di permukaan meja.

Ia tersenyum, menerima mug panas yang masih mengepul. Menyeruputnya sedikit sembari melayangkan tatapan menggantung. “Apa itu dirimu dan adik laki-lakimu?” tanyanya.

“Iya?”

Ia menarik foto itu dari permukaan kotak dokumen. Mengetuk tiga kali di lembar lusuh itu sebelum mengacung-acungkannya tepat di hadapanku. “Kau terlihat konyol dulu,” celetuknya.

“Yang benar saja? Mana? Sini coba kulihat.” Aku hendak merebutnya.

“Ibumu tampak cantik. Di mana dia sekarang?”

“Itu foto puluhan tahun lalu.” Aku pura-pura sibuk dengan mug kopiku sembari bersilang kaki.

“Sepertinya bukan diambil di sini. Brooklyn?”

Aku tertawa pahit. “Tidak ada Brooklyn, Bung. Itu hanya Chungking. Sebelum masa krisis. Dan sebelum orangtuaku bercerai.”

“Jadi kau imigran dari Hong Kong?” Alisnya separuh berjungkit.

“Apa kau tak mencurigai aksenku?”

Sejauh pengetahuanku, Dai-jin bukan seorang juru cerita. Bicara seminim mungkin, kalau bisa meninggalkan impresi buruk. Dan seseorang bernama Jesse baru saja melucuti pengakuan dari bibirnya. Aku benar-benar tak percaya akan mengatakan perihal John kepada Jesse, menceritakan perkara Ma yang lebih membanggakan Jun-yi dan toko kelontongnya, serta istri berparas cantik. Dan respons laki-laki di hadapanku hanya sebatas, “Wow! Bung! Tenang sedikit.”

Aku yakin, Jesse bisa menjadi teman yang baik, sama halnya ketika perkenalanku dengan Carl dan Jean. “Jadi, apa aku bisa meminta fotoku kembali?” Aku mengulurkan sebelah tangan padanya.

“Aku tahu, kau marah besar dengan ibumu. Tapi, percaya padaku, kau masih menyayanginya.”

Aku melirik jauh ke arah dispenser di sudut ruangan, berusaha menghindari tatapannya. Mengumpan tawa kecut sementara ia masih memutar-mutar foto keluargaku di depan hidung bangirnya.

“Buktinya kau masih menyimpan foto lusuh ini.” Jesse berlagak memerhatikan foto renyuk itu sekali lagi. “Dan kau pulang larut malam setiap hari. Apa itu untuk ibumu?”

Aku tak menjawab. Carl tak pernah menceramahiku dengan tuduhan jeniusnya—kendati ia bekerja di bagian research. Dan  Jesse datang begitu saja, membuatku kehabisan kata.

“Bisa kita akhiri ini sekarang?”

Aku berniat beranjak; meletakkan mug di pantry. Jika kami bisa melompati perbincangan ini, agaknya aku bisa melupakan kalimat-kalimatnya.

Jesse menarik tanganku. “Tidak semua hal bisa diperoleh dengan uang, Dai. Termasuk hati ibumu.”

“Baiklah.” Bibirku mengulum senyum. “Bisa tolong kembalikan fotoku?”

“Mmm, sepertinya tidak.” Jesse menarik foto itu kembali, menjejalkannya ke saku celana, dan melengos begitu saja.

“Hei! Jes!”

“Kau bisa membawa pekerjaan minggu depan ke rumah. Aku melihat tenggat waktunya di sana.”

Perkataan Jesse tak ayal memaksaku tergopoh-gopoh menyejajari langkah pendeknya. Tidak ada kerja lembur untuk pertama kalinya dalam tiga tahun. Kami hanya berkelilingi blok sebanyak lima kali, membeli sedikit jajanan food truck yang terparkir di sisi trotoar. Ia orang yang cerkas dalam bercakap. Kendati kami tak selalu sepikir—ia membicarakan buku terbaru dan aku membicarakan lelang desain antik di Craiglist[5], Jesse selalu tahu kapan harus berkelakar, menjadikan kisah tragis Pria Oranye-ku menjadi versi miliknya.

*

Sudah terlalu lama bibirku kelu menyimpan jawaban itu. Aku tahu perkataan yang ingin didengarkan Ma. Seperti kata Jesse, ia tak butuh uang. Pekerjaan di pabrik bahkan tak cukup sibuk untuk mengubur harapan itu. Siang ketika kugenggam tangannya, wajahnya pucat seperti hantu.

Jesse tahu rahasia kecilku. Saat kusulut batang pertama selepas kami bercinta. Asap masih membubung. Dan yang kuingat adalah air mata milik Ma, jatuh membasahi telapak tanganku.

“Kau merindukannya?” tanya Jesse.

Aku tak menjawab. Menyesap lebih banyak asap. Seakan-akan rokok dapat mengusirnya pergi.

Bersama Jesse, Pria Oranye menjadi lawakan sejati. Namun, saat aku menanggalkan bajuku, menggaulinya berkali-kali. Aku baru saja melakukan bidah yang tak pernah kuingkari selama ini. Aku sengaja bermain dengan lebih banyak kawan. Menjadikan perkataan Ma sebagai angan.

Ma berharap aku kembali ke masa dulu, saat memergokiku mengetes kejantanan bersama Sam. Bercumbu di bawah remang lampu. Aku bermain aman, kendati aku tahu, aku berbeda. Ma menuduhku menggoyahkan iman. Saat kuyakinkan dirinya, ia berdolak-dalik, mencoba segala akal. “Bagaimana dengan kejadian saat itu?”

Yang mana lagi? dengusku dalam hati. Saat kukatakan aku menyukai laki-laki, respons Ma kepalang depresif.

“Tidak mungkin, Jin.” Matanya memejam seolah hendak merapal doa. “Aku mengenalmu sedari kecil. Kau baik-baik saja.” Separuh membersit ingus dengan tisu ruang makan. “Kau pernah berpacaran dengan Samantha,” ujarnya.

Aku ingin tangisnya segera berhenti alih-alih terus menjejalinya dengan kenyataan.

Kembali ke asap-asap selepas kami bercumbu. “Hei, Dai. Kau melamun.” Jesse bertelekan sebelah siku, mengelus daguku. Kupandangi matanya lama-lama. Sementara suara Morrissey masih berputar di speaker gramofon.

“Aku baik-baik saja. Hanya ingin meminta maaf padamu.”

“Untuk apa?”

“Untuk minggu lalu. Aku telah menjadi orang brengsek.” Aku meliriknya sembari tersenyum; mengetuk puntung di pelipir asbak.

Kami bukan bertengkar hebat. Malam ketika ia menciumku di tepi pintu, bibirnya memagut dan aku merasa tak seberani dulu—seperti saat Ma merebut Pria Oranye-ku. Yang kupikirkan adalah balas dendam, hingga Sam merayuku, Ma harus tahu.

Jesse membuatku terdiam.

Sorry,” ucapnya pelan. Di sela napas yang memburu, menahan dingin New York, dengan telapak di pipiku yang terasa membeku

Aku menangkap semburat itu sambil tersenyum. Ia menekur dalam-dalam, memainkan jungur sepatunya di atas telundakan kayu.

“Jangan meminta maaf,” ujarku, menepuk pipinya. “Ciumanmu tidak buruk. Hanya saja jangan sekarang, Jess. Kau tahu—”

“Iya, tentu. Karena pekerjaanmu. Dan ibumu?” Jesse mengulum senyum pilu.

“Bisa dibilang begitu.”

Aku benci menjadi orang jahat. Mendekap pinggangnya sementara bibirku berkata yang sebaliknya. Mengumbar janji kendati tak mempermainkannya. Kami berpisah dengan tawa kecil malam itu. Berbeda dengan esok harinya, saat aku melambungkan sapa dari lantai dua. Dan ia menanggapinya dengan terburu-buru. Beralasan lupa memasang alarm semalam, yang mana esok harinya atau hari itu ia harus mengajar pada kelas pagi. Singkat kata, ia menyalahkan obrolan dua jam kami, mengelilingi blok terakhir di kawasan West Harlem.

Seminggu sudah aku menjejalkan tubuh ke lift sempit beraroma kopi di pagi hari. Kembali fokus pada kertas-kertas sketsaku. Alih-alih, mendapatkan cercaan dari Jean.

“Kau tahu bos gemuk sialan itu, ‘kan? Idemu terlalu standar, Dai.”

Dan itu sketsa keenampuluhku, keparat.

Malamnya aku pergi pada Carl. Membeli satu pak molly[6], menyedotnya dengan sebelah cuping sembari bermasturbasi. Otakku berkelena begitu jauh. Membayangkan horison di Minnesota. Singkat cerita, aku dan Jesse mengambil trip singkat berdua seperti pasangan gay di film “Happy Together”, tanpa uang dan sebuah mobil butut, berkelana ke Argentina mencari Iguazu. Lantas, aku dan Jesse akan tidur dalam satu ranjang di sebuah motel pengap. Dan ia tertawa-tawa ketika aku membuka satu per satu kancing button-down-nya; menciumnya sekeras yang kubisa; menabrakkan punggungnya ke dinding; mendengarkan desah napas yang tanggal satu per satu dari cuping hidung.

Kami akan bergelung lebih lama, berbagi rokok berdua dan—

Shit.

Telepon di nakas berdering nyaring. Jins sudah kupelorotkan hingga ke pangkal paha. Winston sudah bertemperasan di atas meja. Dan suara itu baru saja menginterupsi fantasi hebat di malam yang begitu payah.

Bukan kata halo tapi, “sialan,” umpat seseorang di seberang sana, dirasuk keretak sambungan telepon pada mesin penjawab. “Sampai kapan kau akan menghindariku? Dai-jin…”

Pura-pura menyumbat telinga; aku mengembuskan napas; melambungkan asap rokok ke pagu.

“Faye menebarkan gosip itu lagi. Kau mengingkari janjimu dengan Qing-he?” sambungnya.

Tarikan napas Ma terasa berat, pun asap yang menggauli paru-paruku. Sudah lima kali Ma merangkai kencan buta dan aku berharap ia berhenti untuk keenam kalinya. Tapi, aku salah. “Amazing 66. Mott Street. Pukul enam sore. Kau harus bertemu dengan Qing-he dan menyelamatkan mukaku.”

Ide itu membuatku tertawa.

“Kau dengar, Jin?! Sampai kapan kau akan begitu? Lihat Jun Yi, adikmu leb—”

Aku lekas menekan tombol stop. Menarik kabel keras-keras, membanting kotak rompal itu bertemperasan di lantai. “Diam! Keparat! Diam!”

Kubersitkan hidungku sekali. Menarik boxer, mengaitkan ritsleting, dan memanggil taksi. Radio di dasbor bisa memperdengarkan tembang lalu dari Bowie, bisik-bisik mengenai rencana lima tahun ke depan. Tapi yang kuinginkan adalah malam ini. Mengendus lehernya. Mencecap kulitnya. Dan muntah sebanyak-banyaknya.

Agaknya aku mulai teler, salah menerka remang lampu di pelataran jalan. Hatiku berdebar-debar. Kesepuluh jemariku membeku. Sembari mengambil langkah keluar dari taksi, yang kurasakan adalah reka ulang 11/9[7]. Menyambut plang putih itu, aku sukses melihat Jesse mengenakan apron berwarna hitam, tengah menata novel di rak buku.

Aku sempat meninggalkan sedikit tip untuk supir. Namun, yang dapat kukatakan adalah mati rasa. Kakiku begitu ringan melangkah. Bunyi bedebam terdengar nyaring; punggungku terasa nyeri sesaat. Pemandangan tak ubahnya korsel di taman bianglala. Orang-orang melongokkan kepalanya begitu antusias.

Aku tak ingin terlalu lama mengingatnya.

Terlepas sebagai cerita memalukan minggu lalu, Jesse menganggap ceritaku sebagai kelakar paling lucu. “Kau ingat saat itu menghampiriku ke McNally? Kau terpeleset dan muntah besar-besaran di trotoar. Semua pengunjungku lari keluar—gosh, aku harus menghentikan cerita jahat ini.”

Ia menutupi matanya sembari menepuk-nepuk bantal. Dan aku mau tak mau menyunggingkan bibir, berpartisipasi dalam podium komedinya.

“Tapi, hanya dengan cara bodoh itu ‘kan aku dapat memaksaku tidur di ranjangku?”

“Jangan sinting, Dai. Kita tidak melakukan apa-apa malam itu.”

“Aku pasti terlalu teler.”

“Tentu saja. Aku menyedot semuanya. Seperti penyedot debu. Satu pak harusnya untuk satu minggu.”

Kami membicarakan molly dengan begitu mudah. Semudah menyelipkan jemari ke balik selimut dan meraih pinggangnya.

“Wow. Tenang, Kawan. Kau sudah mulai berani ya?” tanyanya.

“Aku mencintaimu, Jess,” sembari berbisik di telinganya. Menampik tangannya yang menahan niatku. Mencium tiap jengkal tubuhnya sembari meredam ketakutan itu. Dai-jin mulai berani rupanya. Tapi, bagaimana dengan kedua mata teduh senja itu. Kombinasi antara tatapan tak percaya dan Dai-jin yang patuh.

Aku tahu, Jesse memang berbeda. Saat kudekap tubuhnya; menatap pagu; lantas, apa yang harus kukatakan pada Ma?

*

Seminggu terakhir aku berhasil merangseki partisi pintu. Menghabiskan tengah malam di balkon. Menyulut sebatang Camel Lights dan menikmati Harlem yang mulai membisu. Angin pada dini hari tak juga membuatku mengantuk, alih-alih, sayup klakson membuatku kian takut. Memikirkan perihal bahagia bercampur rasa bersalah.

Jesse kepalang pulas di kasur. Dengan selimut yang menangkupi separuh tubuhnya. Aku masih memikirkan cara. Apa aku akan terus melarikan diri selamanya?

Telepon itu hadir di penghujung hari kerja. Bukan di sambungan telepon kondo. Jun-yi tahu nomor ponselku. Ia menyapa begitu saja dengan nada ringan seolah tak ada yang terjadi. Dan serta-merta mengetikkan surel untuk alamat di hari Minggu.

Aku perlu mengengok keponakan pertamaku, katanya.

Aku tak ingin berurusan dengan Ma. Tapi ketika ponsel itu dikepit di antara dagu dan pipi, Jesse sedang pura-pura membaca kumpulan puisi sambil meniup cangkir horchata[8]. Matanya mengerling. Berantusias untuk memaksaku pergi ke acara kumpul keluarga.

“Dengan satu syarat, Jess.” Aku melesat, merebut buku tua itu dari tangannya.

“Apa?”

“Aku ingin kau ikut.”

Baru kali itu kulihat air mukanya berubah. Bukan Jesse yang biasanya. Tertawa konyol sekalipun tak ada yang membuatnya merasa lucu. Alih-alih, kami sama-sama tegang saat mengancingkan manset kemeja.

Teringat ketika sepasang telunjuk dan ibu jari mengancingkan kemejaku ketika pernikahan Paman Luo dulu. Ma sengaja membawa hasil jahitan cacatnya ke rumah. Memakaikannya padaku dan Jun-yi satu-satu, lengkap dengan dasi kupu. Tangannya begitu besar mengaitkan kancing pada lubang pertama di bawah dagu.

Aku menatap lurus ke arah depan. Manik sipit itu tergantikan pupil biru milik tetanggaku. Aku tahu, aku terlalu takut untuk mengaku. Jesse nampak begitu tampan dengan balutan kemeja hitamnya dan manset yang tersingkap di siku.

Wajahnya berseri ketika kami bertumpang tangan. Sementara taksi membawa kami menuju Chinatown. Jun-yi memesan sepuluh meja di sebuah restoran Kanton bernama Jing Fong. Sedari menarik pintu pegas, pengang stereo dan tengik pewangi ruangan kontras menguar dari dalam. Lampu jalan tergantikan suasana kuning berderang dengan dekorasi serba-merah menggelambir dari langit-langit.

Jesse mendelikku sejurus. Aku menepuk bahunya sekali.

“Dai-jin!” Jun-yi tengah menggendong keponakanku. Anak laki-laki bernama Po-wing. Liem Po-wing. Mei-yee di sampingnya ikut tersenyum singkat.

“Jun.” Aku memeluknya dengan begitu hangat. “Jesse. Iya, perkenalkan—”

“Ia tetangga keren yang sering kau ceritakan itu?”

“Bisa dibilang begitu.”

Jesse mau tak mau mengulurkan tangan. Jun-yi sempat berbisik-bisik dengan Mei-yee, tapi kujamin ia tak mengerti Bahasa Kanton.

Para kerabat dengan wajah-wajah asing, yang tak pernah kujumpai, ikut berdatangan.

Jesse tersenyum ke arahku, memberikan isyarat ‘tersingkir’, sementara aku terus menyuruhnya untuk berdiri tepat di sebelah situ. Sebelah meja yang pastinya akan segera kuhuni alih-alih ikut berdansa atau sekadar mengikuti nada sumbang dari mesin karaoke.

“Ma merindukanmu,” ujar Jun-yi bersandar pada konter bar.

Aku tak menanggapinya. Mengambil tempat duduk di stool bar. Melirik Ma dari jauh sudah cukup membuatku tergugu. Aku memperhatikan Jesse. Ia masih duduk, menikmati acara dengan batangan sumpit saling silang, sembari membaca buku menu.

“Bagaimana dengan menemuinya?” Jun-yi mengambil satu botol bir hitam dari balik konter.

“Ia sedang sibuk bernyanyi, Jun,” ungkapku.

“Baiklah. Toh kalian akan bertemu. Bicara soal Jesse. Aku menyukainya ‘kan?”

Senyumku sekejap raib. “Bicara apa kau?”

Jemariku mengantung di balik papan, tak jadi meraih bir hitam.

“Aku bukan anak kecil lagi, Dai. Kita semua bukan. Dan Ma pasti akan memahamimu kali ini.”

Jun-yi menceritakan insiden ketidak tersengajaannya mendengar pembicaraan Ma dan diriku senja itu. Saat kukira kami hanya berdua di ruang tengah.

“Aku harap begitu,” suaraku terdengar tenang, kendati jantungku berkebit.

“Dan jangan kau lupa ganti statusnya dari tetangga menjadi kekasihmu.”

Aku berusaha mengusir pergi kata-kata Jun-yi lima menit lalu. Terpernyak pada bantalan kursi yang amblas dan meja dengan taplak berminyak. Jesse sudah kenyang mengisi perut dengan hidangan acar pembuka. Lantas, para kerabat mulai berdatangan mengeriapi meja.

Semuanya baik-baik saja.

Aku pikir begitu. Tapi tidak semudah itu ketika satu tepukan merampok sebuah momen indah. “Selamat datang, Dai.”

Keparat. Sesungguhnya lebih banyak ejaan yang ingin kulontarkan, tapi Jesse buru-buru menggenggam tanganku. Sebentar John bertelekan siku pada bingkai kursi, semakin engaja ia rangkulkan sebelah tangan di leherku.

John tak berbicara banyak. Kuangsurkan satu pak Camel Lights yang tersisa, ia mengangkat tangan. Lucu. Ia baru berhenti, katanya. Seminggu lalu, Ma protes lantaran ia nyaris terserang bronkitis.

Sejurus aku mendelik Jesse—tak peduli memangkas pembicaraan kami. Aku benar-benar perlu mencari udara. Satu hirupan di luar pintu pegas. Elizabeth Street masih bising dilalui kendaraan. Malam tak gerimis seperti biasanya. Temaram lampu membawaku pada perjumpaan pertama dengan Pria Oranye alias ayah tiriku. Dan pikiran nakal itu mencuat begitu saja. Merogoh sudut dompet, aku menemukan persediaan kecil yang selalu diselipkan Carl. Substansi E berkadar rendah. Cukup oleskan di gigi dan lidah. Lantas, sekujur badan relaks seketika. Aku mengetuk-ngetuk kotak biru. Mengambil sebatang rokok untuk diriku. Batu api siap mencucuh ketika bunyi sol terdengar mengetuk pelataran. Tidak ada kanopi raksasa, hanya sanggup mengayomi dua kepala. Lantas, Ma mencium satu per satu pipi tamu undangannya sebelum melirik ke arahku.

Asap melayah rendah. Kukulum bibir sebelum berbicara.

“Jun-yi memberitahuku kalau kau membawa seorang tetangga,” sergahnya serta-merta mengeluarkan suara. Melempar tatapan jauh ke depan, tepat ke arah kendaraan yang berlari kencang. Sejujurnya aku rindu ocehan Ma. Dongeng malam yang selalu dendangkan sebelum mata terpejam.

“Namanya Jesse,” perlahan aku menjawab; menahan pengar yang mulai terasa.

Sejurus Ma tak membalas. Ia sibuk mengeluarkan tisu dari saku, menyeka pelipisnya yang digelontor peluh. Pesta pasti menguras tetangga.

“Dan kau mengabaikan telepon-teleponku untuk tetangga sialanmu?” tanyanya.

Aku membubungkan lebih banyak asap dari cuping hidung.

Sorry, Ma. Bisa kita tidak membahas persoalan ini? Aku lebih ingin tahu kabarmu. Dan apa kau masih bekerja di pabrik gila itu?”

“Kenapa? Kupikir kau tak pernah ingin tahu.” Ia mendengus. Tertawa skeptis seolah aku tak pernah peduli, kendati selalu mengirimkannya uang sebulan sekali.

“Aku selalu peduli, Ma.” Kugigit bibir bawah. Berusaha menahan amarah. Jauh di dalam pikiranku, aku selalu memikirkan perkataan Jesse dan Jun-yi, aku harus bisa membuat Ma yakin dan menerima keputusan itu.

“Omong kosong! Kau peduli apa? Kau hanya peduli memamerkan aib di mata kerabat dan keluarga. Aku tidak habis pikir dengan pikiran kecilmu. Sedari kecil aku sudah baik-baik mengajarmu. Kau pemuda baik-baik, Jin. Apa yang kau cari, huh?”

Napas itu terurai. Bersamaan dengan asap. Ma serta-merta merebut batang lencir dariku. Mengempaskannya ke trotoar. Dan menandaskannya dengan sol lancipnya.

“Siapa yang mengajarimu merokok? Membuat otakmu berkarat!”

Dalam hati aku ingin mengadu. Tapi lihat tinggiku, bahkan nyaris menyentuh kerai kanopi. Dan aku ingin mengadu? Sialan, John. Lihat pria kebanggaannya. Kebanggan keluarga yang hanya bisa merokok hingga paru-parunya rompal.

“Aku tak ingin berdebat,” jawabku cepat-cepat. Jatungku makin berkebit. Mata sedikit berkunang-kunang. Efek E memang kepalang hebat.

“Baiklah. Aku pun tidak ingin. Tapi, kau selalu berpura-pura lupa.”

“Aku tak ingin kau mengatur kencan buta dengan wanita-wanita itu.”

“Kenapa?”

“Kau sudah tahu jawabannya, Ma. Kenapa kau tidak bisa menerima? Jun-yi tahu dan kau akan terus pura-pura menutup telinga?”

“Tidak ada yang perlu kuterima, Jin. Kau baik-baik saja. Demi para dewa. Sekali saja kau harus mendengarkan kata-kataku.”

Kami tak pernah bertengkar sedemikian hebat. Menjadi tontonan dari dua blok yang tertinggal. Dari bising kendaraan yang dipacu lekas-lekas. Seseorang pasti dapat mengendus hawa pertengkaran. Lengkingan yang Ma utarakan. Telunjuk yang ia lacur tinggi-tinggi seolah aku lima tahun kembali.

Kali itu aku frustasi.

“Ikut aku, Jin! Ikut aku! Beritahu Qing-he kau akan menemuinya besok!”

Ia baru menjinjing rok panjangnya sembari menarik tanganku. Entah setan apa yang merasuki dirinya.

“Hentikan, Ma!”

“Tidak, Jin. Ikut aku! Keparat!” Umpatan itu datang bertubi-tubi.

Aku sempat separuh terseret. Menuruni telundakan aspal sembari mengambang akibat efek psikotropika. Ma melenggang begitu saja menyebrangi jalan. Sebagian mobil mengklakson, namun lampu itu datang menyatron kepalang cepat. Dan membuat tangan kami seketika terlepas. Ma terlempar. Menabrak kaca depan. Sedang aku terpental ke arah yang berlawanan. Pinggangku menabrak birai trotoar.

Kepalaku masih berputar. Pintu pegas dijejali orang. Tak tahu apa yang membuatku menangis. Air mata tiba-tiba mencuat. “Ma! Mama!”

Aku melihat darah itu menggenang di permukaan aspal.

“Siapapun panggil 911!”

Merangkak dengan timpang. Kepala Ma makin banyak mengeluarkan darah. Penglihatanku makin samar. Berkebalikkan dengan rasa sakit di sekujur tangan kanan.

Sekejap Ma nampak sumringah dengan matanya yang terbelalak. Tangannya tak lagi terbujur kaku, alih-alih, jemari lentiknya menyambut tanganku. Hingga akhirnya kami berenang-renang di atas limpasan. Bukan di atas aspal. Seseorang pasti membawa kami jauh. Ke dalam satu kompartemen sempit berwarna putih dengan kloset dan bau pesing.

“Dai, Daijin! Tolong buka pintunya?!” Bunyi bedebam itu nyaris memekakkan telinga. “Shit! Dai! Buka pintu keparat ini!”

Aku melihat rambut pirang itu menyembul dari balik pintu. “Daijin? Apa yang kaulakukan?”

Derai air di keran seketika membuatku alpa. Napasku memburai. Desah cepat yang nyaris tanggal. Jesse. Aku dapat mengenalinya kendati samar.

“Dai, lihat mataku. Lihat! Apa yang kaulakukan dengan pisau cukur itu?”

Aku tersenyum. Bukankah ini praktis? Seperti menyeduh kopi di pantry.

 

-fin.

 

[1] Tahun yang mana krisis ekonomi melanda Asia
[2] Chinese hamburger
[3] kakek dan nenek
[4] Alan Ginseberg dan Kerouac merupakan dua penulis yang termasuk dalam era Beat atau sering disebut sebagai Beat Generation. Karya-karyanya berkenaan dengan konten seksual, budaya counterculture, dan keterlibatan obat-obatan psychedelic.
[5] forum jual-beli, mencari tempat tinggal, atau lowongan kerja
[6] MDMA; 3,4-methylenedioxy-methamphetamine atau lebih sering disebut sebagai ekstasi.
[7] merujuk pada peristiwa penyerangan 11 September 2001; warga Amerika dikejutkan oleh peristiwa penabrakan pesawat ke gedung kembar WTC yang diprakarsai oleh jaringan teroris Al-Qaeda
[8] minuman yang berasal dari Spanyol tetapi cukup populer di kota-kota besar di Amerika. Terbuat dari campuran sari almond, biji wijen, beras, dan biji-bijian lainnya.

 

______________

A/N: Untuk Macklemore & Ryan Lewis, Simple Plan, The 1975 dan Smashing Pumpkins. Air mata ibu memang yang paling inspiratif. Maafkan untuk menjadi yang bukan paling baik. Untuk Fai dan Po-wing, lekas temukan Iguazu.

Cutting Veins, Pt. 2

Cutting Veins, Pt. 1: https://unbrewedcoffee.wordpress.com/2015/07/29/cutting-veins-pt-1/

.

.

Sepulang sekolah, aku menelepon Earl. Alih-alih, ponselnya ditangguh ke nada tunggu. Berharap gegas bertemu, aku harus memberitahunya mengenai pengintaian malam itu. Kami berada dalam bahaya.

Berganti ke nomor cadangan Rex. Ia tak mengangkatnya.

Memainkan jemari, aku menggigit bibir, menutup ponsel, dan memutuskan mengambil langkah besar lewat gang belakang Leith Academy.

Citadel selalu punya penghuni, Chip biasanya yang paling kerasan tidur tidak memakai celana. Namun, kala itu Rex yang pertama kali kutemui, tengah buang kencing di foyer yang lebih mirip puing tsunami.

“Maaf untuk rencana membolos tadi siang. Aku terpaksa masuk kelas Mrs. Jones,” ujarku. Aku tak langsung masuk. Sejurus melongok, aku harus bertemu Earl.

Rex mendengus. “Kami sudah membongkar mobilnya tanpa dirimu. Ada pistol Luger di dalam sana.”

Luger.

Langkahku terhenti. Aku berusaha mengatur napas yang nyaris membabi-buta. Memikirkan malam yang tak mau raib dari benakku.

Rex merangsek masuk; aku mengejarnya. Dua langkah dari ventilasi masuk. Earl sudah berdandan bak Iggy Pop. Ia menanggalkan kemejanya, menyisakan korduroi biru. Mereka baru saja menggeledah Chevrolet milik Enzo, mobil yang menjadi proyek abadinya selama puluhan minggu. Chip mempreteli satu per satu ban depan, membongkar kompertemen dasbor. Dan Earl sukses mencungkil bagasi belakang, termasuk melongok ke kolong jok.

Luger keparat itu terkepelai di atas sofa. Chip menjelajahinya sembari tertawa-tawa. Mengusap magasinnya dengan kaus, bergaya sok menembak ke arah dinding. Siung. Seolah itu tontonan paling lucu di dunia.

“Kami menemukan Luger di dalam sana, Tip. Di dalam kompartemen dasbor. Apa kau mengenalnya?” Rex yang pertama kali bertanya. Aku menatap Earl. Cuping hidungku kembang-kempis.

“Aku tahu, kau mengenali benda ini,” ujarnya.

Satu hal tentang Luger itu, aku tahu soal jungurnya yang dingin. Menggigil ke di pipiku.

“I-itu milik Enzo,” ucapku. Aku tak tahu harus melirik ke arah mana. Chip yang mulanya tak peduli, beringsut berdiri di hadapanku.

Bollocks. Ia tahu lebih banyak dari itu, Earl,” Chip menyipit ke arahku. Kendalikan dirimu, Tip. 

“Ayolah, Tip. Kami enggan menyiksamu untuk sekadar berkata yang sejujurnya.” Earl berjalan satu langkah, tapi entah apa yang membuatku amat ketakutan. Seolah ada tabir sebesar piringan asing yang melayap di atas kami, menutupi celah-celah rompal dari para-para bangunan. Leherku dibanjiri keringat. Mengingat napas berbau tembakau yang berbisik di sisi telingaku.

“A-aku—” aku perlu sejurus untuk mereguk liur. Rex mengambil pistol Luger itu dari tangan Chip. “Tolong j-jangan tembak aku,” sergahku terbata-bata. Kedua tungkaiku kebas. Bersinjengket mundur, malah menginjak keliman celana.

Rex mendengus geli. “Tip, kau baik-baik saja?” Earl berjalan kian dekat.

“J-jangan tembak aku,” suaraku berubah menjadi rintihan, kugigit lidahku sekuat tenaga. Terjungkal dengan bokong mencium aspal. Earl berlari mendekatiku. Aku menarik kaki, terjajar mundur dengan kesepuluh jemari.

“Tip, hentikan itu. Kau tidak harus bersikap seperti ini.”

“Jangan sentuh aku! Tidak! Dasar homo!”

Jemari Earl berhenti. Terlalu sering ia diancam dengan kata ‘homo’, tapi kata itu tidak pernah meluncur dari bibirku. Bersirobok dengan matanya begitu nanar. Ia mendengus, seolah yang barusan itu adalah akting terburuk yang pernah dijumpainya.

Earl tidak berbicara, ia berbalik, sebagaimana aku hanya memerhatikan jinsnya yang kedodoran menjauh. Menyelomoti batang rokok apapun yang ia temukan di meja, sedang aku menyelisik isi tas yang berhamburan di aspal.

****

Kebohongan pertama yang paling kuingat agaknya ketika aku berumur tiga tahun. Mendiang ibuku bertanya, apa yang hendak kaulakukan saat besar nanti? Aku tidak menjawab, gigiku hanya membentang jadi satu deret singkat, tanganku meramban miniatur astronot itu.

Begitu naif. Aku ingin jadi astronot. Tapi jika sebuah pilihan (d) ada di kuisioner ruang konseling, aku akan mengisinya dengan kata: “pembohong”.

Cukup singkat. Dan pekerjaan itulah yang sejauh ini paling mumpuni kulakukan, menurut Enzo.

Jangan sangkut pautkan Earl. Anggap saja itu satu rekaman dari koleksi besar yang akan selalu kuputar jelang sesi perkenalan. Dan perkenalanku dengan Enzo bukan lantaran bokongnya yang salah terperenyak di bangku kantin.

Lantaran Enzo memergokiku dua hari sebelumnya, bersetelan kemeja dan berdasi biru. Berjalan tergial menanggapi telepon Earl sembari melewati Albert Street. Dan cuaca tidak cukup terik untuk udara Edinburgh yang lembap. Itu transasksi ketiga puluh Enzo yang berjalan nyaris tidak sesuai dengan rencana. Regulasinya mudah, Enzo perlu satu setengah tahun untuk meyakinkan si gempal keparat Barry untuk menyerahkan heroinnya untuk distributor yang lebih intim. Tak perlu uang muka, sekadar peluang konsinyasi.

Mereka menyebutnya Barry The Blow, seperti lelucon hari kemarin, yang mana ia bermain panggung kabaret dengan pistol dan deretan gigi emas. Bedanya, pistol itu asli dan gigi emasnya bukan sekadar saduran. Lumbungnya sebesar kamp konsentrasi, alih-alih, diisi padi, ia isi heroin dari negeri kincir angin.

Kala itu aku berdiri tegak-tegak; Enzo memasukkan bungkusan cokelat ke dalam ranselnya. Satu jabatan tangan hangat; aku gegas berbalik pura-pura buang kencing di trotoar.

Itu konyol. Jika tak tertangkap basah, pun celanaku akan basah terkena rembesan kencing.

Lima menit, kucoba mencuri dengar derap-derap di aspal. Malah disergap suara yang membikin merinding, “Nyalimu boleh juga, Mate.” Tepukan telak; aku buru-buru menarik ristleting celana. Shite.

“Er, i-iya? Aku tidak tahu apa yang kaumaksud barusan,” pungkasku.

Enzo mengendus. Tingkahku agaknya lucu di benaknya. Ia menyentuh daguku sekali, meniliknya ke kiri kanan seakan-akan jambangan antik di Grassmarket.

“Entalah. Kupikir, kau akan berguna di suatu hari nanti.”

Ia melepaskanku hari itu—aku lupa meletakkan tanda petik di kanan dan kiri. Sekadar sehari, sebelum Earl pulang membawa kabar sinting itu di hari Jumat. Tanpa perlu berselindung, ia tahu benar di mana aku akan terpenyak.

Dan setelah itu Enzo menjadikanku sebagai orangnya yang terpilih. Seperti Barry The Blow dan antek-anteknya yang mencuar nyaris tiga kaki dari jungur hidung. Aku mengikutinya ke mana-mana, tidak sepulang sekolah, bisnis hebat itu digelar malam hari, ketika lampu-lampu meredup dan jalan tak lagi bising.

Dan permainan kami dimulai. “Ingin mencoba?” Kedua kalinya Enzo bertanya, kala itu kami tengah duduk di patio belakang rumahnya, menghidu pipa madat. Malam di bulan keenam sejak insiden buang kencing gadungan.

Alisku berjungkit. Menilik pipa mutakhir ciptaannya, botol mineral bekas yang dibebat berbagai pita rekat.

“Transaksi besok adalah bagianmu. Siap menghadapi Barry?” Ia mengangsurkan pipa dan pemantiknya padaku.

“Tapi besok hari Jumat.” Aku menyesapnya sekali sembari menyulut api; terbatuk-batuk parah dengan mata memerah.

“Peraturan akan diubah, Tip.” Ia tertawa. “Rabu jatahku, Jumat akan menjadi ajang debut hebatmu.” Enzo membangun akademi transaksi itu tanpa sepengetahuan Earl, yang notabene tahu segala hal tentangnya.

Well, mari kita hadapi Barry keparat itu,” seruku. Kami tertawa semalaman. Dan jika ada yang perlu disalahkan, salahkan semuanya pada kanabis kelas tiga yang Enzo dapatkan cuma-cuma.

Aku bertanya padanya mengenai perkara transaksi heroin itu. Mengapa seorang Enzo memilih heroin? “Aku tahu, kau tidak pernah mencicipinya barang setitik,” tantangku dengan cengiran separuh melayang. Memeluk botol madat, kubenahi posisi duduk di atas kursi deck.

“Jangan sok tahu. Aku terlalu sering mencicip sampai-sampai ingin muntah.” Enzo mengentak sneakers-nya. Bersehadap padaku dengan mata sayu. “Ia menyuntiknya berkali-kali, Tip. Tiga kali yang kuingat. Kurasa yang dapat paling kuingat dari wanita keparat itu adalah ketika ia memintaku meraciknya untuk dosis dobel dalam sekali pakai,” dengusannya terdengar payah, tubuhnya ambruk mengempas kursi deck. Tungkainya berderak, untung tidak patah.

Lantas aku tak kembali bicara. Hanya menatap garis horizon yang nyaris raib dilabur malam. Enzo menyulut rokok baru sementara aku menyesap pipa madat miliknya. Sekonyong-konyong saja ia menangis. Bukan dengan efek melodramatis, alih-alih, masih diselundupi tawa sarakastis.

“Wallace, Tip. Kau pernah bertanya mengenai nama belakangku, ‘kan?” celetuknya di sela gemertik bara. Dijeda napas muskil, ia bicara soal Mrs. Wallace yang kerap ia tutup-tutupi.

“Perempuan keparat itu mati lantaran mengendus terlalu banyak heroin.”

Kala itu tangisnya sudah berhenti, seperti Tuhan tak memberikannya cuti untuk sekadar mengenang duka, Enzo bercerita tanpa ekspresi.

“Dan sekarang kau malah menjualnya?” Aku mendengus geli, mempertanyakan paradoks yang begitu sedih.

“Aku perlu perasaan itu, Tip.” Ia duduk berambin. Menyesap lebih banyak asap, lantas mengeluarkannya dari cuping hidung. Sedikit demi sedikit ia malah tertawa, diculik asap kanabis.

“Perasaan takabur kala berurusan dengan Barry?” Aku meliriknya sekali; ia buang muka ke arah kiri.

“Perasaan diinginkan. Ia hanya menginginiku lantaran benda sialan itu.”

Sorry,” ujarku, menyesap lebih banyak kanabis.

Enzo tak lagi menyahut. Manik kelabunya menilikku, bukan biru seperti milik Janet. Lantas, bergumam dalam hati, apa seperti itukah Earl memandang Brent? Seperti saat bungkam di tengah malam; kami tertidur di bangku deck, menggigil sepanjang malam. Menyelinap di kala fajar, melompati birai jendela, dan kembali berpura-pura.

****

Kala itu pukul delapan, aku enggan beranjak dari kasur. Sekadar meramban onggokan buku yang kutimbun di nakas sebagai tugas membaca harian kelas Sastra. Cat’s Cardle dipilih Mr. Keener lantaran terobsesi pada Kurt Vonnegut. Membuka lembar pertama, seseorang pasti tahu, aku tak benar-benar membaca. Jam di pelipir meja menunjukkan pukul delapan; Dad mengetuk pintu untuk ketiga kali, menyembul, sekadar berkata, “Kuharap kau lekas bersiap untuk acara pemakaman itu.”

Dad bukan pria penuh kontradiksi. Ia menutup pintu, sudah dengan setelan kemejanya. Terakhir kami berpakaian serba hitam bukan lantaran menghadiri pesta pernikahan, alih-alih, hari terakhir melihat wajah ibuku di peti mati. Aku masih tidak percaya, harus menemukan wajah Enzo di tempat yang sama.

Menenggak gin yang kusembunyikan di kolong tempat tidur, aku melangkah ke luar kamar. “Sorry. Aku sengaja melakukannya,” ujarku, berjalan menuju patio.

Aku telat lima belas menit dari yang seyogianya. Alih-alih, mengikuti rombongan sekolah. Kepala sekolah kami sengaja menyewa bus untuk membawa murid-murid menuju Rosebank. Kerabat dan teman dekat berendeng di depan; pamannya, si pemilik bengkel dengan perut buncit yang kerap kupergoki berdiri di bersimpangan Leith Docks[1]; Rex; Chip; dan Earl. Tangan tremornya memegangi kertas renyuk.

Ia sempat mencuri lihat ke arahku, sekali. Sementara bibirku memperlihatkan senyum simpatik yang ia tampik jauh-jauh. Kami urung bicara selama dua hari. Malam, teve kubiarkan menyala, kalau-kalau telepon berdering dan ia mengajak menyesap ganja.

Rex sempat menepuk bahuku, berpamitan sebelum ia pergi, tapi Earl masih enggan membuka mulut.

Meremas jemari, aku memandangi pusara itu lebih lama, kendati satu per satu khalayak mulai raib. Aku menolak tumpangan Dad. Epitaf yang tertulis nisan mempertontonkan embos “Enzo Wallace” untuk pertama kali. Dengan kalimat  mutiara Hemingway yang menjadi kesayangannya; ia begitu mencintai dunia yang luar biasa ini, sampai-sampai enggan minggat.

“Kau keparat, Mate.” Napasku terputus, sekali menghidu udara, paru-paruku seperti diinjak sol sepatu. Aku mengambil Pal Mal dari saku, menyulut dua batang, satu kuhisap, satu lagi kuletakkan di pinggir nisan. Dengan julai asap yang dibiarkan menari, mengerdili batang putih. “Kau harus membantuku. Bukan malah terlelap di dalam sana. “ Aku menendang pusara itu. Lantas berjongkok, merokok dengan mata berair. “Itu sama sekali tidak lucu. Permainan kebohonganku nyaris berakhir dan semuanya terus bertanya kepadaku—”

“Apa yang sebenarnya kaulakukan bersama Enzo?” tanya seseorang di belakang sana, suaranya berat, seketika membuatku tersedak asap. Kubuang puntung milikku, melindas milik Enzo dan lekas berbalik.

Barry tersenyum. Sementara aku meniti sol sepatunya yang dibesut licin;menggunkan manset, kugasak kedua mataku yang basah.

“Bagaimana kabarmu, Nak? Er, Tip?” Kekehnya terasa mengintimidasi. Seolah transaksi pertama terulang kembali. Kukepalkan tinju. Kabar persetan, siapa peduli. Menghantamnya keras-keras sampai tubuh jangkung itu terjengkang beberapa senti.

Shite!” pekiknya, tak dinyana aku sanggup melakukan hal itu. Darah menggerumuti tepian bibir gelapnya.

“Jangan sok simpatik, Barry. Aku tahu, apa yang kaulakukan.” Napasku terengah. Sementara tinjuku terasa nyeri hingga ke lengan atas.

“Lantas, kenapa tak bertanya hal yang sama pada tempan pusaramu?” Alisnya meninggi. Ia gegas menggeluarkan sepucuk Glock, lantas menarik laras; aku mengangkat kedua tangan.

Kubiarkan deru angin melabur tungkai hidung, menatapnya lurus-lurus, bayangan Luger milik Enzo masih terasa menghujam pipiku. “Jangan sekali-sekali bergerak, Banci.” Magasinnya mengisi satu perluru ke ruang lontar.

“Aku ingin barangku kembali.”Barry menyentuhkan moncong sedingin es itu di dahiku.

“A-aku tak mengerti apa yang kaubicarakan,” ujarku, terbata-bata, dengan gigi bergemeletuk.

“Jangan berpura-pura, Tip. Kau ingin menjadi yang selanjutnya atau teman-teman busukmu itu?”

Aku menggigit lidah keras-keras. Berharap dapat menarik kata-kata itu. Keringat kembali membanjiri punggung. Kutilik ke atas, Barry tidak main-main. Giginya boleh dipertontonkan, alih-alih, roman mukanya dilabur murka.

“Si Bajingan Tengik itu mengambil barangku. Sedikit demi sedikit hingga ia pikir aku tidak tahu. Katakan di mana benda itu?!” Suaranya meninggi. Aku tak ingin diteriaki Banci di tengah pusara, Earl sudah tak terlihat batang hidungnya.

“Tidak ada pesan, Bar.” Aku melirik pusara Enzo. Memikirkan tangan-tangan yang mungkin mendobrak dari dalam tanah, lantas menariknya ke dalam liang.

“Omong kosong!” Ia berteriak frustasi. Hanya dalam hitungan detik, ia sanggup menarik pelatuk. Alih-alih, tangan kirinya menjambak rambutku. Mata kami bersirobok. Aku berusaha menahan tangis.

“Dua hari—beri aku waktu dua hari untuk barang milikmu,” desisku, mengangkat kedua tangan, memberikan etape sejurus. Barry The Blow selalu menggemari kata ‘negosiasi’, seperti yang Enzo bilang.

“Kau mencoba menipu?” Alisnya berjungkit. Menarik rambutku kian erat. Aku memicing kesakitan.

“Tidak. Tentu saja tidak.” Sekadar dengih paru-paru yang terdengar. Menahan nyeri memikirkan kulit kepala yang nyaris luruh. “Pikirkan sebuah kemungkinan, Barry. Daripada meledakkan kepalaku tanpa sebuah hasil.”

Barry melempar pandangan jauh ke depan, tempat seharusnya aku bisa berteriak meminta pertolongan. Melirik pusara Enzo dengan sebuah epitaf berpahat simetris. “Jangan coba-coba menjebakku. Pukul dua belas, Tip. Albert Street. Jangan melarikan diri.” Ia menendangku di perut. Glock hitamnya kembali terselip di celah ikat pinggang. Tubuhku terpelanting mencium rerumputan, memegangi perut sembari bergelung kesakitan.

Entah apa yang harus kulakukan; selain melihat sol pantofel yang mengentak-entak; rontek dompet yang menggelambir; dan langit yang begitu biru.

****

Sekerat Barney’s merupakan sebuah obligasi dalam bertandang ke rumah Enzo. Menaiki undakan bercat biru, patio porak-poranda dengan berbagai marka. Tiang kayunya tak lagi dibebat tali kuning polisi. Kutarik gagang pintunya; terkunci. Berjongkok di pinggir patio, kurogoh celah di antara petak kayu terakhir. Enzo selalu meninggalkan satu kunci untukku—untuk menyelinap masuk, pun keluar di tengah malam. Earl, Rex, dan Chip tak pernah tahu, aku pergi sesering itu, terakhir kali kami terperenyak berlima di sofa ruang depan, lantaran Earl keranjingan menantang semua orang bermain Rainbow Six.

Pun dengan kedatanganku kali ini, aku berbohong pada Dad—hendak kembali ke sekolah, berkonsolidasi dengan kelompok doa.

Aku memasukkan anak kunci ke lubang, lantas memutar gagangnya ke arah kanan. Menoleh ke kiri, membayangkan Enzo yang kegirangan, ingin lekas-lekas menyesap bir dingin dari bibir botol. Tangannya yang digasak, jemari kakinya yang melompat-lompat di balik sneakers butut.  Rumah itu kini bau tengik, setelah tiga malam lalu dihuni separuh personil kantor polisi. Merokok, menyesap bir, sekadar mengusir dingin. Jendelanya tertutup rapat, kelirnya tak dibiarkan terempas.

Ronce kunci masih menggelendoti pintu, ketika aku meletakkan kerat bir di atas meja. Memperhatikan marka di permukaan lantai. Aku memilih berjongkok, meramban getir lini putih yang menjadi tempat terakhir Enzo duduk. Membayangkan antek-antek bayaran Barry menyekapnya dan menjadikannya sebagai pencandu dalam satu malam. Tanpa sidik jari, pun barang bukti.

Keparat.

Menilik ke sekeliling rumah, lemari pajang itu masih berdiri di sayap kiri—lemari milik mendiang ibunya. Aku menarik kaki, meramban satu per satu kaleng yang berendeng di sana. Tempat di mana Enzo menyimpan butiran E yang kerap ia bagi dua. Seperti malam itu.

“Kau perlu “eksodus”, Tip. Untuk sekadar tidak menjadi Banci,” ujarnya, ketika kami duduk berdekatan. Tangan jenjangnya memamerkan itu pada remang lampu.“Ini pil hebat, ambil satu. Lantas, kau akan punya kekuatan super,” pamernya, sementara aku tak henti bertanya, tentang betapa kelabu matanya. Dan bibirnya tak pernah berhenti mengunyah Peppersmith. E tidak membuatmu menjadi pemadat pilon yang rela menggadaikan segalanya. Rasanya tak keruan, tapi tak seabsurd kala bibir itu menyentuh bibirku. Jantungku berkebit; kepalaku pengar bukan kepalang. “Bukankah kau ingin melakukannya malam itu?” tanyanya, diikuti tengik tembakau dan senyum tolol yang kami pertontonkan bersama.

Aku menemukan plastik E di dalam kotak Rolodex berduli. Menelan satu butir, menjejalkan sisanya ke saku jas. Membuka ponsel. Menyoroti satu per satu pernak-pernik dan bingkai foto tentang liburan terakhirnya ke London. Dan berharap bisa menemukan sesuatu yang dapat menjawab teka-teki sialan Barry.

Aku kembali berbalik. Bersandar dengan punggung luruh dan duduk bercangkung kaki. Mengambil sebotol Barney’s, mencungkil tutupnya di sembiran meja. Menyesap seperempat botol. Kepalaku seketika terasa berat. Seperti pertama kali kusentuh mandibula itu dan bertanya, siapa diriku sebenarnya?

.

E memberiku Enzo, Enzo yang aku mau, berjalan lewat pintu. Tubuh jangkungnya, manik kelabunya. Mengenakan kemejalumberjack kusut itu dan jins belel terinjak sneakers yang kerap memeluk kedua tungkai kakinya.

Kami bercinta seperti malam terakhir ketika ia membuka ritsleting celanaku. Dan melakukan akrobat spektakuler di atas sofa. “Barry mendatangiku,” ujarku dengan napas terengah.

Enzo tersenyum. Aku begitu takut ia akan berang. Kuperhatikan jemarinya yang masih mendekap tubuhku. Tubuh kami sama-sama telanjang di bawah satu remang lampu.

“Ia mencari barang itu.” Kususuri tulang selangkanya dengan bibir. Seolah takut kehilangan dirinya untuk kedua kali.

“Itu untuk Earl, Tip. Katakan padanya, aku minta maaf. Untukmu juga, tidak ada yang boleh berkata Banci.” Ia mengecup dahiku.

“Jangan konyol.”

“Jangan konyol juga untukmu. Bersikap seperti kau tidak ingin. Kau menginginkannya ‘kan, Tip?”

“Aku hanya ingin kau tetap di sini,” kataku.

“Tidak. Kau yang mengatakannya, Tip. Kau ingin Janet.”

Dadaku kontan terimpit. Berat tubuh Enzo menimpa tubuhku. Kulihat kedua mata nyalang itu. Lengan kirinya yang merogoh ke balik punggung.

“Apa yang kaulakukan?” Suaraku gemetar; pistol Luger menyembul di antara jemarinya.

Please,” aku mengangkat kedua tangan. Alisku menandak. Berusaha melepaskan diri. Ia baru saja mengarahkan moncongnya ke arah kepala; aku berteriak kesetanan. “Hentikan! Hentikan! Enzo!”

Dan peluru itu menembus kepalanya. Pecah menjadi onggokan daging berbau formalin.

.

Masih menemukan diriku duduk berambin, bersandar di kerai lemari, tubuh basah kuyup diguyur keringat. Teriakanku berakhir parau, disambut denting Botol Barney’s yang terguling, menggelincir di kolong sofa.

Sebuah gumpalan menyumpal kerongkongan untuk sekadar tidak mengumpat. Aku tidak menginginkan Enzo. Aku melirik ke sekeliling, alih-alih, kegelapan yang menyergapku. Kulirik arloji. Petang datang lima menit lebih cepat dari perkiraanku.

Aku ingin menangis. Tanganku memporak-porandakan seluruh isi lemari, kugulingkan satu per satu bingkai foto. Melempar pernak-pernik dan kaleng-kaleng keparat ibunya, menghujani lantai.

“Tutup mulutmu, Enzo!” pekikku, meremas rambut.

Kau ingin mengaku sekarang, Tip. Kutendang lemari itu hingga nyaris terguling. Aku tidak menemukan apa-apa.

“Di mana benda keparat itu, Enzo?!”

Kau tahu jawabannya, homo.

“Aku bukan homo! Aku masih menyukai Janet!”

Tapi kau masih menginginkan aku ‘kan?

Aku berusaha tidak mengindahkan suara itu, bergerak ke sisi samping. Mendorong lemari beberapa meter ke arah kiri.

“Persetan, Enzo,” bisikku. Lubang itu sebesar tiga puluh senti. Dibobol paksa di belakang lemari. Kurogohisi dengan tangan gemetar, lantas menemukan beberapa bungkusan cokelat. Sepucuk Beretta 92 dan sebuah kunci mobil. Beretta serta-merta menyisipi sela ikat pinggang. Aku memikirkan kata-kata terakhir Enzo satu malam sebelum kami menemukannya menyayat nadi:

Jangan bergerak, Tip. Jangan sekali-sekali kau menyentuh mobilku.

****

“Berhenti! Berhenti, Enzo!” pekikku, berlari di pelataran jalan, mengayunkan kedua tangan. Entah dari mana sepasang kaki itu menandak. Aku mendengarnya berlarian. Satu meter menganju dari iris mataku, menengok ke belakang. Ia enggan berhenti. Senyumnya mencuat. Seolah-olah kami hendak menerkam barang bagus di pesta tengah malam.

Aku terus berlari. Mengumpat beberapa kali. Duke Street sudah termaram mendekati pukul sepuluh. Etalase gerai redup satu per satu. Dua jam sebelum janji temu dengan Barry. Napasku terengah. Rontek kunci bergemerincing di saku belakang.

Berbelok di gang pertama, dengan bau onggokan sampah paling menyeruak. Aku menyusupi jalan rahasia menuju Citadel.

Sedikit pengar, aku melihat Citadel dengan penerangan minim seperti seharusnya, seseorang mungkin di dalam. Sepertinya Chip. Speaker dibiarkan menyala. Duran Duran [2]seperti baru saja menggelar konser, membawa seisi fan base dan memporak-porandakan ruang tengah.

Chevrolet milik Enzo terparkir di sayap kiri. Chip sudah memasang keempat roda seperti semula. Tak sempat mencari batang hidung Earl, aku harus segera membawa mobil itu pergi. Merangsek pintu depannya yang tak terkunci. “Shite!” Bokongku belum sempat terperenyak di jok, alih-alih, melihat bubuk putih terburai dari kulit jok.Mereka sudah mengetahuinya. Aku berusaha mengembalikan duli-dulinya, bergerak secepat mungkin sebelum seseorang datang memergok.

“Kau mencoba membohongi kami untuk hal ini?” Sekonyong-konyong saja aku merasakan moncong pistol di tengkuk; Earl mencoba menggebah.

Aku tak serta-merta mengeluarkan suara, sekadar mengangkat tangan. Earl menarik pelatuk pistolnya. “Jawab, Banci!” pekiknya.

“Aku baru mengetahui ini beberapa jam lalu,” kataku, perlahan membalikkan badan, tersudut, bersandar di pintu mobil.

“Keparat! Kau membohongi kami!” Aku mendengar Rex dengan isi botolnya yang berkecipak. Bau Vernon seketika menguar lantaran ia membantingnya berkeping-keping di atas aspal.

Kutatap mata Earl lekat-lekat, tangannya yang  memegang popor dengan kesepuluh jemari. “Aku sungguh-sungguh. Aku berbohong, iya, tapi tidak dengan benda ini—benda ini harus dikembalikan.” Tangannya gegas mencengkeram lapel kemejaku. Penampilan kami sama-sama kacau, napas yang memburu, sengit tembakau yang melayap dari lapel kemeja.

“Hei!” Chip ganti memekik. “Barang ini bahkan bukan milikmu.” Menyembul dari sisi kiri, membuka pintu. Lantas mempertontonkan heroin itu di tangannya. Bulir-bulir berjatuhan; aku mereguk liur.

“Aku berbohong soal Barry. Barang itu milik Barry The Blow.”

Bollocks. Kau tahu apa soal Barry!” damprat Chip, mengempas pintu mobil. “Kita terlalu lama memercayainya, Earl.”

Earl sejurus membisu. Jemarinya boleh mencengkeram kuat; pistolnya mengendur. Lengannya gemetar. “Kau melakukannya dengan Enzo selama ini?”

Aku mengangguk. “Maafkan aku.”

Ia mendorong tubuh kuat-kuat. Mendengus geli. “Kau orang baik, Tip. Bukan En—”

“Aku pembohong yang payah, Earl. Aku mencintainya,” aku memberangus kontemplasi Earl. Menengok aspal, sengaja menghindari tatapan mata itu. Sejurus hanya bunyi perkusi Roger Taylor[3] yang terdengar dari stereo, sebelum jemariku balas menarik popor senjata dari sela ikat pinggang.

Shite!” Rex bergerak mundur. “Earl!” pekiknya.

Aku mengacungkan benda itu lurus-lurus, ke arah Rex yang hendak menerjang; kaki Chip yang melentuk ketakutan. Earl masih geming. Aku lekas-lekas menyuruk masuk ke dalam mobil. Mengunci keempat selak pintu.

“Keparat, Tip!” pekik Chip. “Buka pintunya.” Gebukan keras itu menghantam roda kanan belakang. Jemariku gemetar hebat, berusaha memasukkan anak kunci.

“Buka pintu! Banci!” Rex mengangkat tinggi-tinggi kursi kayu itu. Menghantam kaca belakang. Suara mesin meringking beberapa kali, sebelum akhirnya berderum. Aku tidak sempat berpikir dua kali; melirik Earl; menginjak kopling dan menarik persneling menuju gigi mundur. Ban berdecit disambut derum mesin.

.

Beretta masih mengait di telunjuk kanan; aku menginjak pedal gas dengan kecepatan maksimum. Jantung meninju rusuk. Melintasi tiang lampu di perimeter Easter Road. Kepalaku pengar, dengan mata separuh memicing, entah berapa lama lagi aku harus menahan muntah di kerongkongan.

Sneakers sompek itu lagi-lagi menyembul, menutupi spion kiri. “Kenapa kau begitu keras kepala, Tip?”

Enzo. Berpangku tangan, dengan kepala yang diangguk-angguk, seolah ia mendengar melodi sunyi lewat stereo.

Ia sudah mati tiga hari lalu. Persetan. Aku membersit hidung, pura-pura tidak mendengar, terlepas bunyi rontek-rontek yang menggelambir di spion muka, yang nyaris membuat kepalaku pecah. Kuarahkan Beretta itu menuju pelipisnya. Ia tertawa kecil. “Apa yang hendak kaulakukan dengan benda itu? Menembak kepalaku?”

“Tutup mulut!” Aku menggebrak roda kemudi. “Aku harus mengembalikannya.” Melempar pandangan ke ruas jalan. Tempat janji temu dengan Barry The Blow berada dalam hitungan meter. Aku menginjak pedal rem.

“Dan bersikap seperti jagoan, Banci?” Alisnya menjungkit. Menarik kaki dari dasbor. Merogoh saku untuk sebatang Berkeley. Aku mematikan mesin mobil. Bersihadap dengan dirinya, yang melipat sebelah kaki.

“Bisa kau berhenti bicara?! Aku tak ingin membuat kita semua terbunuh.” Aku hendak menarik gagang pintu. Memutuskan untuk menutup telinga.

“Kau tidak akan menyelamatkan siapa-siapa!” pekiknya.

“Persetan, Enzo! Ini semua lantaran ulahmu! Apa yang kauberikan?! Kau mati, keparat!”  umpatku, dilahap amarah. Kucekik lehernya dengan kedua tangan. Berharap ia lekas-lekas dikirim ke neraka. “Kau tidak meninggalkan apa-apa kecuali barang sialan itu yang malah membuat semua orang terbunuh.”

Enzo tertawa santer. Seperti ketika kami menonton kejuaraan Piala Eropa.

“Keparat, Enzo!” Kutinju tubuhnya berkali-kali; menghantamkan kepalanya di kerai jendela. Tawa itu tak urung raib.

“Kau orang yang paling berani yang pernah kukenal, Tip.” Ia tergelak kecil, sebelum menahan kedua tanganku di depan dada. Mengelus dahiku. Napasku terenggah. Menatap matanya yang nanar.

PRANG!

Peluru itu menancap di belakang kepala. Aku merasakan aliran hangat yang menggerayangi leher. Sakit sedikit menggigit—nyaris tak terasa, alih-alih cengkeramanku di lapel kemejanya sekonyong-konyong mengendur. Pengar di kepalaku menjadi berlipat ganda. Melirik ke depan, Enzo sudah raib. Hanya dengih napasku yang terputus-putus.

Sementara siluet-siluet jangkung itu datang menyatroni mobil kami dan menyulap jendela samping menjadi puing. Dingin merambat di sekujur tungkai kaki. Seseorang menarikku keluar.

Kuamati giginya, ia berjongkok di emperan. Warnanya emas. Disilap temarang lampu di pelataran Albert Street. “Kau orang paling naif yang pernah kutahu,” ia terkekeh, meninggalkanku dengan punggung bisu itu dan membawa mobil Enzo pergi.

-fin

________________

[1] distrik tempat prostitusi di Edinburgh
[2] Band beraliran new wave asal Brimingham
[3] drummer pertama Duran, Duran

A/N: Untuk Renton, Spud, Sick Boy, Begbie, dan Tommy. Iggy di awal, Layus di akhir.  Kurt, Anthony, Axl, Liam dan Noel.

Cutting Veins, Pt. 1

“Aku memilih untuk tidak memilih hidup. Aku memilih hal yang lain. Dan alasannya? Nyatanya, tidak ada alasan saat kau memiliki heroin.”Irvine Welsh

.

.

Sudah gelap ketika ponsel Earl meringking untuk ketiga kali. Mau tak mau tangan besarnya melintasi wajahku untuk sekadar terperanjat ingin tahu. Mungkin itu telepon iseng; bisa jadi Brent—pacarnya dari Cambridge; atau bisa juga ibunya tahu perihal Fullers yang raib dari lemari pendingin. Aku tak benar-benar mendengar. Alih-alih, menarik otot, tak sengaja menyenggol kaleng-kaleng kosong yang beronggok di kolong sofa. Pinggangku nyaris rontok. Dua kali mengerjap, aku masih mencium sengit tembakau yang bertemperasan di lantai, di bawah teve yang masih menyala. Earl baru saja menyapu bersih trofi untuk level keempatbelas dari Rainbow Six. Memborong komplotan mafia. Serta merampok gudang senjata. Bagus.

Bibirku tak benar-benar tersungging sementara pikiranku masih melayap menerka angka di meja nakas. Biasanya ganjil. 01:33 atau mungkin 09:13 lantas kakiku gegas bersijengket ke kamar mandi. Tapi malam itu aku terbangun tepat di tengah malam, 00:00, digit sempurna di atas nakas, sebelum Earl berpakaian dan menendang bokongku keras-keras.

Shite, Mate. Apa yang kaulakukan?” aku mencoba protes, tapi Earl sudah berlari. Ia tidak benar-benar berpakaian, sesungguhnya, hanya membuka pintu kamar dengan kesetanan. Menjejalkan jemari kakinya ke dalam sneakers hitam. Dan menarik jins kebangsaannya tinggi-tinggi agar bokong hebat itu tak jadi tontonan.

“Earl!” pekikku; buru-buru menuruni tangga.

“Cepat, Banci. Kau tidak mau ketinggalan pesta terbaik di Edinburgh ‘kan?” Ia sempat berbalik menatapku. Tertawa-tawa. Dan seketika aku tahu ke mana kami akan mengarah.

Aku buru-buru mengunci pintu, menyelipkan kuncinya di bawah babut. Berharap Dad tidak pulang malam ini dan menemukan ampas Irn-Bru dan Fullers yang diselundupkan secara ilegal lewat jendela lantai dua.

Earl berada dua meter di hadapanku dan bertelanjang dada. Berlarian empat blok jauhnya. Napasku mulai terenggah. Kami berbelok di rumah kelima, bercat krem tua dengan fasad mewah dan Volkswagen yang baru saja terparkir miring di carport depannya.

“Rex! Rex!” Earl berteriak kegirangan sembari terenggah-enggah. O, god. Dan temanku yang homo itu serta-merta masuk lantas memukul-mukul kaca jendela untuk orang yang sama linglungnya. “Kau mendapatkan pesan itu?” tanyanya.

Sebaliknya Rex dengan mata sayu, menurunkan kaca yang separuh terbuka. “Er?” Mungkin ia menyapa, mungkin bergumam. Kala itu Jumat malam dan Earl seolah tak khatam kebiasaan Rex mengunjungi Studio 24[1].

Dua sesap martini tentu tidak jadi masalah. Tapi, bagaimana dengan satu botol ia yang curi dan peluk seorang diri?

Earl mendengus frustasi.

Aku mengintip ke jok samping. Syukurlah. Ini termasuk beruntung. Tidak ada si Pirang Menyebalkan seperti minggu lalu.

“Aku membawa Tip juga. Kau tidak mendapatkan pesan Chip?!”  Earl berusaha menepuk pipi Rex beberapa kali.

“Mmm? Hentikan! Shite, siapa kau?” Masih dengan terpejam, Rex mengumpan tinjuan kosong.

“Sepertinya ini percuma saja,” ujarku, melipat tangan di depan dada.

“Jangan menyerah, Banci. Kita akan pergi menjemput Enzo dan pergi ke tempat hebat itu,” bisik Earl, merogoh lewat partisi jendela. Dan klik. Selak otomatis itu terbuka. Tangannya menggapai anak kunci, memutarnya hingga bunyi mesin berderum.

“Melompatlah ke belakang,” suruh Earl. Ia mendorong Rex ke jok penumpang dan gegas memasukkan presneling ke gigi mundur.

.

Earl masih mengetuk-ngetuk pinggiran kemudi untuk senarai lagu Iggy Pop yang ia sambungkan lewat kabel ponsel. Rex tertidur pulas bersama igau-igau tololnya mengenai Ramona—si pirang sialan itu, yang mengataiku ‘banci’. Maaf, banci hanya untuk Earl dan Enzo, Rex dan Chip bahkan memanggilku Tip. Tip untuk Tipton. Tipton Hastings yang baru saja dipanggil untuk mengisi kuisioner di ruang konseling tadi siang.

Bergelung di kursi belakang. Lantas, jemariku mencengkeram sandaran jok depan.

Perjalanan menuju rumah Enzo seyogianya tak lebih dari beberapa quid. Tapi, malam sudah turun. Dan aku hanya dapat membiarkan Earl melanjutkan mimpinya sebagai pembalap amatiran; menginjak pedal rem; memindahkan presneling dengan bunyi memekakkan telinga.

Sementara aku masih memikirkan kuisioner tolol itu di tengah malam, yang bertajuk Opsi Kariermu di Masa Depan: (a) fisikawan, (b) akuntan, (c) insinyur.

“Kau baik-baik saja, Mate?” Earl melirikku lewat spion muka.

Bahuku mengedik.

Earl tersenyum. Baginya, mungkin kuisioner itu tak lebih dari tisu toilet belaka. Kariernya sudah di depan mata. Ingin jadi apa Earl? Tentu saja Iggy Pop. Ia bahkan sudah memperlakukan dirinya sebagai utusan yang diselundupkan lewat rahim Mrs. Cummings sedari umur lima. Membeli jins pertama, melupakan perihal atasan yang padan untuk sneakers hitam bututnya. Dan lengkap sudah, ia mengecat rambut cokelat gelap itu jadi pirang terang mirip bintang rock tahun delapan puluhan.

“Setidaknya kau harus berhenti memikirkan ide tentang mencumbui guru konseling payah itu dan menyusun strategi untuk untuk mengencani Janet,” sahut Earl, terkikik geli.

Janet, tetanggaku, hanya Earl yang tahu aku naksir padanya sedari kelas satu.

“Tutup mulutmu, Homo!” peikik Rex sekonyong-konyong; aku meringis. Rasakan, Earl!

“Sialan, kukira ia baru saja kehilangan nyawa setengah jam lalu,” umpat Earl, mengambil jalan memutar. Rex masih disorientasi. Tapi, agaknya ia tahu mengenai pesta yang katanya hebat itu.

“Tidak akan ada yang kehilangan nyawa untuk pesta hebat di minggu ini, asal kautahu.”Ia mengacungkan botol Vernon itu ke luar jendela, menenggaknya banyak-banyak, mengangsurkannya pada Earl, lantas padaku untuk estafet seputaran menyambut pesta yang-katanya-hebat itu.

Aku mendengus geli, tapi tidak untuk satu injakan pedal rem yang membuat kami bertiga nyaris memagut dasbor. Rex nyaris mengeluarkan isi abdomen; Earl memberhentikan Volkswagen tak sempat melewati tikungan di pojok jalan. Sirine polisi sejurus membuat kami tercekat. Dan begitu saja Iggy Pop seakan-akan membisu, sebelum aku memberanikan diri berjengit pertama kali. Ada yang tidak beres. Ada yang tidak beres dengan Enzo.

“Tip?!”

Aku tak memedulikan pertanyaan Earl, alih-alih, membuka paksa selak pintu dan melompat turun. Berlari dengan berdengih-dengih, melewati ruas jalan di pukul satu dini hari. Dan menemukan mobil patroli ayahku terparkir di depan rumah Enzo.

Shite, shite, shite.”

Entah berapa lama aku mengumpat, meremas tinju tanpa bisa melayangkannya. Earl melandaskan langkah di depan pagar. Dan Rex yang masih separuh pengar, berjalan limbung.

Shite, Mate.” Earl menambahkan yang terakhir, sebelum kami berjibaku menembus patio. Tepat ketika ayahku menerobos keluar dan menarik lenganku dengan paksa. Dadaku mencelus.

“Lepaskan aku, Dad. Apa yang terjadi pada Enzo?”

Ini bukan pertanda yang baik. Dad menarik napas panjang. Earl memasukkan kedua tangan di saku belakang. “Sir?” panggilnya.

“Kalian tidak bisa masuk ke dalam,” ujarnya, “Tunggu saja di luar. Kami perlu membereskan jasadnya dan mengumpulkan barang bukti.”

Omong kosong. “Jangan bohong, Dad. Enzo—” kata-kata itu raib begitu saja, aku berusaha mendorong, terus mendorong. Berteriak kesetanan.

Mungkinkah?

Kami bertiga begitu mengenal ruang tamu itu, masih dijajari lemari-lemari pajang khas era tujuh puluh. Dengan rangka kayu eboni tua berbau dupa. Tapi, Enzo tak ada di sana. Aku melihat bubuk putih yang beronggok di meja kopinya, tempat biasa kami melempar satu kemungkinan dari 52 kartu yang ada. Kursi ottoman-nya yang dinodai ceceran darah. Dan lebih banyak noda merah yang merembes di sela linoleum.

“Ia bunuh diri,” pungkas Dad, menepuk bahuku sekali.

Earl yang paling pertama ambruk. Ia membiarkan jins itu menggosok-gosok birai patio. Dan Rex hanya memeluk botol Vernon-nya tanpa suara.

“Tidak mungkin, Dad!” raungku. Aku masih berusaha menerebos. Menarik kuat-kuat lini polisi yang memagari pintu depan; Dad menahan tanganku bersama Officer Bishop. Mempertanyakan keputusan Enzo untuk tergeletak di balik sana. Apa ia sempat menyuntikkan benda jahanam itu lewat nadinya?

Aku harus tahu.

“Hentikan, Banci!” Earl yang menegurku, sampai-sampai para petugas forensik menatap ke arah kami.

“Tutup mulut, Earl!” Suaraku tak kalah meninggi. Aku berbalik ke arahnya. “Aku bukan banci. Aku bukan—keparat, Enzo!” Satu tinjuan. Earl terhuyung, nyaris terjungkal ke pekarangan muka. Aku tak begitu ingat mengenai serangan balasan itu. Yang kutahu, hidungku berderak cukup parah.

Rex menarik Earl menjauh. Officer Bishop memasung tanganku ke belakang. Itu adalah ruang hampa yang panjang, seolah sebuah ledakan masif meletup di sisi telingaku. Aku masih mempertanyakan Enzo yang kukenal dengan tatapan-tapanan yang kini menatap jasadnya terbujur kaku di kantung mayat. Menelisik masuk ke dalam labirin otaknya dan bertanya, apakah ini caranya untuk menghukumku?

****

Cukup dua episode hidup Earl yang sanggup membuatku bergidik: ketika ia berbisik padaku tentang orientasi seksualnya yang timpang, kurasa ada beberapa jenak saat ia tertarik padaku sebelum akhirnya menemukan Brent lewat jejaring sosial; lalu, ketika Earl bilang ia memiliki bisnis bersama Enzo.

Seseorang pasti tengah berkelakar kalau ia mengaku tidak mengenal Enzo. Tak perlu nama belakang untuk membedakan, kami hanya perlu memanggilnya Enzo. Rambutnya cokelat gelap, seringnya kedapatan sengkarut dan lupa bersisir. Tatonya mengular di pergelangan bawah, lantaran dari itu ia mengganjur ke mana-mana lumberjack lusuh berwarna merah tua.

Dan kenalkan diriku, Tipton Hastings. Tidak terlalu populer kecuali menjadi bahan bulan-bulanan di kelas Sejarah Dunia. Duduk di deret paling belakang. Dan gemar menghitung sisa hari menuju kelas terakhir di penghujung tahun. Pekan-pekan pendek yang mana aku dapat terbebas dari artileri limpasan kloset George Richardson.

Menolak untuk terlibat, kala itu hanya satu hal yang berkelebat di benakku: membereskan berkas-berkas pra-kalkulus Mrs. Jones dan bergegas pulang. Alih-alih, Enzo mengambil kursi yang seharusnya milik Earl di sampingku.

“Ingin bergabung dengan tim hebat? Tidak ada Richardson, tidak ada olok-olokan bodoh itu lagi,” ajaknya, serta-merta merebut botol Irn-Brn dari mejaku. Kuperhatikan jemarinya yang menguning lantaran terlalu sering merokok. Sebelah kakinya yang terangkat, menindih tumpukan kertas.

Aku menggeleng. Satu gelengan pendek sembari berharap ia akan meninggalkanku sendiri.

“O, ayolah, Mate. Kau takkan membiarkan mereka menginjak-injak harga dirimu, ‘kan?”

Thanks. A-aku rasa, aku akan meninggalkan itu untukmu.” Kutunjuk botol Irn-Brn di tangannya, menjejalkan lebih banyak kertas ke dalam tas, bergegas untuk raib.

“Tunggu. O, tunggu dulu, Tip. Mau ke mana kau?” Ia menarik tubuhku dengan amat mudah, menjumput lapel kemeja dari arah belakang. Ini tidak baik, sungguh buruk, tepatnya. Aku mulai membayangkan hari-hari pertama itu. Air limpasan toilet yang mirip rasa susu basi.

“Perpustakaan,” aku berdusta kecil, sesungguhnya aku ingin pulang.

Keparat, Earl. Ia baru saja memasukkanku ke senarai nama tim busuknya.

“Baiklah kalau itu maumu, belajar dengan tenang di perpustakaan, tapi jangan lewatkan pertemuan esok hari. Pukul satu.” Ia mengangsurkan kertas lisut itu dari sakunya. Terlipat-lipat seperti nyaris sobek. Dengan tulisan carut-marut dan menandak-nandak.

Kami berlima menyebutnya Citadel. Beberapa blok lewat  jalan belakang Leith Academy. Menyusuri gang paling bau di Edinburgh. Dan di sanalah Citadel berdiri. Tajuk yang elok, bersanding terbalik dengan konturnya yang nyaris ambruk. Sekilas ditilik, bentuknya lebih mirip griya tawang milik koloni tikus.

Earl yang menyambutku sangat meriah. Dengan stereo bekas yang entah ia pungut dari mana. Lust for Life dari Iggy Pop berdentam-dentam keras di belakangnya. “Selamat datang di Citadel, Mate!”

“Kau menemukan seseorang di sana, Earl?” tanya seseorang dari dalam. Pemabuk itu bernama Rex. Berjalan-jalan dengan kemejanya yang lusuh, dasi biru dongker yang melingkar seenaknya, tak lupa sebotol Carlsberg di tangan kiri.

“Ah, ini Banci alias Tip,” ujar Earl.

Citadel punya ventilasi raksasa, setinggi tubuhku dikali dua. Tirai minimalis sintetis, semi-transparan dengan menghibridakan kelir kamar mandi dan tirai elegan gaya Victoria abad kedelapan belas.

Masuk ke dalam. “Itu Porno!” pekik Earl, masih kegirangan; Rex baru memilih kursi beanbag, melesakkan tubuh dengan keadaan separuh teler. Porno, seperti namanya yang menjijikkan itu—aku lebih memilih nama Chip untuk memanggilnya—mengenakan celana super pendek, duduk gaya duyung, mempertontonkan lemaknya yang menggelambir dan atasan kemerjas mandi. Kompleks. Atraktif. Tapi, tidak cukup poin untuk naik ke pergelaran fesyen Edinburgh.

Bukan tim super, seperti liga fantasi yang beranggotakan empat manusia mutan. Peraturan itu singkat, empat orang duduk silih hadap. Tidak termasuk Enzo. Aku enggan bertanya, apa yang kerap ia lakukan di terali jendela. Menyundut lebih banyak Berkeley? Tapi, yang perlu kauketahui adalah barang bagus di hari Rabu dan Jumat.

Shite, umpatan yang tepat. “Ingin coba?”

Aku bergidik. “Jangan! Banci takut,” Earl tertawa. Tapi, sesungguhnya aku memang takut. Merinding hingga ke tengkuk, malamnya aku kena insomnia akut. Ingin memberitahu Dad, aku berpikir soal Enzo. Tapi, barang gila itu—kata-kataku tandas.

Enzo membawa heroin tiap hari Rabu—dan terkadang Jumat. Earl langsung menyenggolku, meminta pinjaman beberapa lembar quid. Kadang ia mencuri. Merogoh sedikit dalam, sangat dalam, lama-lama ia berani menggadaikan semuanya. Kecuali koleksi piringan vinil Iggy Pop, ia rela.

Senja itu tak ubahnya kerja paruh-waktu pertama, duduk di ruang kelas Mrs. Jones rasanya seperti terkena wasir seminggu. Earl dan Rex mengetuk jendela kelas dari pekarangan belakang. Ikut kami, artikulasinya jelas, tapi aku pura-pura tak lihat. Mrs. Jones berdeham, Rex mempertontonkan tinjunya padaku. Mau tak mau aku mengangkat tangan, mangkir ke bilik kencing. Sebagai bulan-bulanan yang tidak terlalu populer, tanganku malah menjadi gunjingan Rex dan Earl sebagai aparatur magis. Takaran tepat, pembakaran sempurna di atas sendok. Dan satu suntikan hebat yang setara dengan seribu orgasme.

Sedikit demi sedikit aku tidak takut tepung keparat itu menyelinap ke mimpiku. Tak sampai menyelinap di dalam pembuluh darah. Enzo mengajariku menyesap Berkeley miliknya, kadang Marlboro milik Rex. Terbatuk sekali. “Ini tidak buruk, ‘kan?” ujarnya.

“Sedikit pahit,” kilahku, meludah ke gelas kopi.

“Bukankah begitu hidup?” Alis Enzo berjungkit. “Sedikit pahit. Sedikit asam. Tapi, membuat orang tetap terjaga untuk siap bertarung.” Ia menjelaskan moto hidupnya yang tak ubahnya Koloseum; terus bertarung dan bertarung, seolah ia enggan untuk minggat.

Sepotong dari kejadian yang kuingat, Banci bisa jadi topik panas di Citadel, tapi tak lagi di koridor Leith Academy. Entah apa yang Enzo jampi-jampikan kepada George. Kupikir, aku kepalang menyukai pseudonim Banci ketimbang Tipton; Banci bisa berdiam diri dan berbohong; Tipton harus melakukan sesuatu.

.

Sebelum menjadi sebuah antalogi berita yang hebat, kabar itu sudah menjadi mimpi buruk dua malam lalu. Tidurku gelisah. Earl masih anfal di bawah efek suntikan heroin keempat. Rex minum-minum semalam suntuk, minta disuntik dua kali. Chip tidak menonton malam itu; ia menyambut kami dengan satu seringai besar, sebelum dadanya menggeligis diam-diam, menangis di pojok, tempatnya berfantasi.

Aku mengabaikan telepon Dad entah untuk keberapa kalinya. Ia meninggalkan pesan suara, yang enggan kutengok. Hanya menyundut lebih banyak batang Pal Mal, menyesap asapnya tanpa suara, mengembuskannya. Dan begitu saja, aku menghabiskan pak ketiga. Aku tak pernah merokok sebanyak itu, paru-paruku protes, tapi aku hanya membuka satu per satu botol Barney’s persediaan Enzo dan menenggaknya banyak-banyak.

Tak ada cara lain selain menyelinap malam itu, berpura-pura tidur, kendati tak benar-benar bisa terpejam. Aku hanya menerawang para-para. Seyogianya tidak sesulit itu, ‘kan? Enzo bukan teman yang kepalang akrab, ia hanya menyerahkan Bic-nya, satu pak Brekeley, dan ia akan berbagi cerita tentang kedua orangtuanya serta rumah yang menjadi kudeta para pamannya.

“Tipton?” Dad memanggil ketika matahari sudah sepenggalah.

Pagi membuatku makin pengar. Bergelung di antara selimut, aku enggan masuk sekolah. Melompat pelajaran sepertinya lebih terdengar asyik. Tapi, niat itu urung lantaran Dad tidak mengungkit telepon-telepon keparat itu, ia hanya menyuruhku duduk di meja makan. Seperti kencan berdua di malam bisu.

“Kau baik-baik saja, Tip?” tanyanya.

Aku mengangguk, sengaja mengudap sarapan ala kontinental itu dengan begitu serius, hingga melewatkan adat silih tatap. Memotong petak-petak kecil untuk irisan bacon dan telur mata sapi.

“Mereka akan menggelar pemakaman di hari Kamis. Enzo. Pemuda itu, teman baikmu?”

“Tidak terlalu,” ujarku sembari mengunyah pelan-pelan. “Ia teman baik Earl, dan Rex, yang malam itu datang.” Terpaksa aku harus memasukkan nama-nama lain lantaran tak ingin Dad berpikiran kalau Tip, yang ia kenal, bercengkerama dengan pecandu.

“Kami tidak menemukan bukti lain selain kecurigaan pertama.” Ia menghela napas.

“Maksudmu bunuh diri?”

Dad mengangguk. Mengangsurkan gelas, aku bangkit, mengambil air dari keran di bak cuci. “Apa kalian menemukan bukti lain dari tim forensik?”

“Heroin, alat suntik, sendok, pemantik, dan pisau untuk menggurat nadi. Hanya dengan sidik jarinya. Ada keterangan lain, Nak?”

“Semacam kesaksian terpisah?” Seketika perutku mulas. Aku meletakkan pisau itu berkelontang di atas piring.

“Mungkin dengan begitu bisa membantu tim forensik. Kami menduganya, ia telah meninggal beberapa jam sebelum ditemukan. Tetangganya yang pertama kali menelepon.”

“Entahlah.” Aku terduduk dengan perasaan tercampur aduk, dengan kata-kata paling tenang, tapi dengan sejuta pemikiran, Enzo tak mungkin bunuh diri. Tidak semudah itu. “Kami pikir akan menjemputnya untuk bermain game di rumah Rex.”

“Bagaimana dengan orangtuanya?” Ia mengunyah potongan bacon terakhir, sementara jantungku tak mau berhenti melompat.

“Ayahnya meninggal ketika ia masih bayi, kalau aku tak salah dengar. Ibunya?” Bahuku mengedik.

“Boleh aku ke sekolah sekarang?”

Kali itu aku tak ingin berbohong terlalu banyak.

.

Hipotesis Earl berkeras pada teknik pemotongan nadi yang dilakukan di luar nalar Enzo, agaknya ia terbang ke petala langit ketujuh setelah menyuntikkan banyak-banyak dosis heronin di pembuluh; Rex menangkisnya dengan dengusan. Aku sependapat dengannya. Enzo bukan mati bunuh diri. Lantaran apa? Kami masih bersirobok di koridor kelas. Bersandar pada loker 176, loker yang harusnya dikunjungi Enzo di pagi pekan pertama, yang mana ia akan datang pagi hari, duduk dengan mata terpejam di kelas Mr. Humperdink, kelas Pertukangan kegemarannya. Berpikir tentang mengatur investigasi pribadi sepulang sekolah nanti, hingga Jim penghuni loker 177 menerobos kerumunan.

“Kalian harus ke auditorium sekarang,” ujarnya, menatap kami dalam fase berkabung.

Setelah pengumuman yang dikumandangkan lewat speaker pengeras, semua orang berkumpul memasuki ruang auditorium bertingkat. Aku datang belakangan, mengekori Earl dan Rex. Chip mengangkat tangan, memanggil kami untuk duduk berendeng.

Kepala sekolah kami menyampaikan eulogi dengan terbata-bata di atas podium. “Enzo sempat membuat para guru kewalahan. Dengan tingkah membolosnya. Dan pelanggaran-pelanggarannya hingga menjadi langganan di ruang detensi. Tapi, ia seorang murid yang hebat, satu di antara sejuta yang sulit kami lupakan.”

Omong kosong. Enzo tak pernah seterkenal itu. Si gaek Turman seharusnya memanggilnya dengan nama belakang kalau ia berbangga soal Enzo di sekolahnya.

Kerumunan dibubarkan setelah acara sesumbar selama setengah jam. Satu per satu, Mrs. Jones, Mr. Humperdink, dan para guru senior mengungkapkan belasungkawanya lewat mikrofon. Tengkukku kian meremang. Hanya semudah itu, dalam dua malam dan Enzo takkan ada lagi di kursi ottoman kebesarannya. Boleh aku merindukannya. Aku masih membayangkan malam-malam terakhirku dengannya. Dan sibuk membeberkan kalau kami sekadar berbagi cerita.

Aku memperhatikan para murid perempuan yang berdesakkan menuju pintu keluar.

Lantas, Janet terperenyak begitu saja di sisiku. Matanya begitu biru dengan rambut pirang sebahu. Sebagaimana kami berpakaian di sekolah, Janet berpakaian paling rapi tanpa cat kuku.

“Kau baik-baik saja, Tip?” Ia menepuk bahuku sekali; aku mengangguk kecil, separuh yakin dan tak yakin. “Aku sungguh prihatin,” lanjutnya.

Kedatangan Janet cukup membuatku terkejut, dengan kata-katanya, mungkin dengan kecantikannya yang terbiasa kuintip lewat kelir jendela, tapi tidak dengan ungkapan itu. Tidak begitu banyak yang tahu soal Enzo, tapi Janet tahu.

Aku berusaha tidak berteriak. Jatungku sesungguhnya berkebit, tapi aku berkata, “Aku tidak mengerti maksudmu.” Lagi-lagi aku berbohong.

“Aku tahu, kau sering main dengan Enzo. Pemuda itu. Yang berambut cokelat.” Ia memandang lurus ke bawah, tepat ke layar putih besar, yang memproyeksikan foto terakhir Enzo, berkardigan biru tua.

Janet sukses menangkap basah diriku.

Earl dan yang lain sudah meninggalkan kami berdua. “Aku melihatnya minggu lalu. Nyaris tiap malam,” lanjutnya.

“Apa maksudmu?” Aku perlu tahu, apa yang tengah Enzo lakukan di depan rumahku. Dan apakah orang itu memang Enzo? Aku menghela napas dan berusaha tenang.

“Aku tidak tahu apa yang ia lakukan. Sejujurnya, aku baru tahu, ia bernama Enzo. Ia memarkir mobilnya di depan rumahmu, tak melakukan apa-apa. Aku sempat ingin mengatakannya padamu. Tapi, kurasa, kalian memang kerap menghabiskan waktu bersama.”

“Semacam itu, kami bermain game sampai larut malam,” aku terpaksa bercericip kecil.

“Baiklah. Aku sedikit curiga dengan perangainya.”

“Ia orang yang baik.”

“Seperti yang dikatakan para guru.”

“Terlepas dari kesalahan-kesalahan konyolnya. Kau tak perlu khawatir.”

“Tentu saja. Sampai bertemu nanti, Tip.”

Aku menatap lurus-lurus, memperhatikan Enzo yang tersenyum bahagia; Janet menutup pintu ruang auditorium.

Luar biasa, Enzo. Ia sukses menghukumku dengan sekelumit barang bukti.

Hari itu aku urung membolos. Kendari Earl melompat pelajaran bersama Rex; Chip agaknya tidak benar-benar peduli. Tapi, kelas Mrs. Jones adalah sebuah petaka. Aku tak hentinya memikirkan kata-kata Janet. Ada dua hipotesis baru: orang yang dimaksud Janet adalah Enzo atau orang itu adalah seseorang yang dikenal Enzo.

Nilai partisipasiku nol besar dan Mrs. Jones memergokiku mencatat materi pra-kalkulusnya dengan kotak-kotak peluang. Sebuah fraktal ‘x’, yang kucoret berulang kali di kertas. Ada minggu yang mana Enzo memang bersamaku dan aku akan berhenti berkata, kami sekadar berbagi cerita. Aku kepalang ngeri jika Janet akan buka suara. Apa ia akan mengatakannya ke semua orang? Ke teman baiknya si penggosip itu, lalu Earl, lantas ayahku.

Tapi, nyatanya Enzo pun tidak mengatakan apa-apa tentang rencana malam kami minggu lalu.
;&nbsp
___________________
[1] diskotek ternama di Edinburgh, tepatnya di Calton Road
Cutting Veins, Pt. 2:https://unbrewedcoffee.wordpress.com/2015/07/29/cutting-veins-pt-2/

SEJURUS SEBELUM MENJADI DEWASA.

Perlu dua cangkir ristretto untuk membangunkan nalarku senja itu. Setelah terperenyak selama dua puluh tiga jam. Dengan bokong yang melesak di jok penumpang Greyhound Lines[1] rasanya sudah cukup sengsara. Pasalnya penerbangan terakhir menuju Denver baru saja ditutup, pun sambungan telepon Debra semenit lalu.

“Hei, Jes, di mana kau?”

Aku tahu, pada mulanya ia akan bertanya soal itu, di mana keberadaan diriku kalau-kalau aku melupakan hari bersejarah miliknya.

Dan begitulah diriku; duduk bersilang kaki di tengah kubikel, nyaris menekan tombol “hold” untuk sebuah telepon iseng. Aku perlu menelan liur sejurus, sebelum akhirnya bercakap acuh tak acuh. “JFK[2]?”

Mudah.

Well, aku tak sabar untuk melihatmu besok. Kau tahu, kami akan menggelar pesta bujang besok malam. Eliza, Carmen, kau dan aku. Bukankah itu sempurna?”

Shit. “Iya, tentu saja.” Ponselku melorot ke sisi dagu. Kekehan Deb sekejap menjadi ringisan pilu di benakku. Penerbangan terakhir baru saja terlewat lima belas jam yang lalu. Dan ya, tentu saja, aku terpaksa membawa berkas-berkas ekshibisi minggu depan ke meja pojok Everday’s Joe.

Pollock dan de Kooning. Duo hebat yang sanggup mengaduk-aduk isi kepalaku. Aku mengabaikan surel Deb, teleponnya yang kelima, pun dengan pesan suara Neil. Jelas aku melewatkan pesta bujang Deb kemarin malam dan hari kemenangannya kini berubah dari H minus menjadi hitungan mundur yang melibatkan numerik berdigit dua.

Kupikir aku takkan datang. Tapi, Deb, kakak perempuanku …. o, shit.

Jangan pikirkan itu. Aku tak punya banyak waktu, terlebih jika telepon hantu Jacobson merangsek masuk; siapa lagi kalau bukan penyeliaku yang superperfeksionis itu. Ingat, Jessica, semunya harus sempurna. Kau tahu apa yang akan dikatakan klien padaku, mereka benci pegawai yang tidak kompeten, tiga kali suara itu membahana, ia seperti baru saja mengatakannya dengan sebilah gergaji mesin yang berdesing di sisi telinga.

Tenang. Menyundut satu batang American Eagles Menthol selalu membantu. Aku mengeluarkan pemantik mekanik itu dengan cepat. Batu apinya meletup, sebelum sampul bajanya terpelecat, mengantuk permukaan linoleum.

Great. Aku baru saja menciptakan manuver yang membuat seluruh penghuni kedai menaruh perhatian ke sudut merokok di sayap kanan, tempatku duduk. Dua senti sebelum sol sepatu itu melandas; tangan asing memungut korek mekanikku di lantai.

Sneakers Chuck Taylor. “Jes?”

“Kit?” ujarku, sedikit gelagapan.

Dua kali aku mengerjap, kedua tangan kokohnya dengan lekas merengkuh lengan atasku. “Wow, aku tak percaya kau akan kemari.” Kombinasi tatapan berbinar dan tawa hangatnya.

Yeah,” aku mendengus dengan payah. “Deb akan menikah besok.”

“Terdengar hebat. Tapi, bagaimana dengan kabarmu? O ya, tidak keberatan ‘kan kalau aku duduk di sini?” Ia menarik kursi di hadapanku, duduk dengan bertumpang kaki, memperlihatkan denimnya yang sobek ala Joe Strummer.

Bahuku mengedik. “Baik. Tentu saja. Kau sudah memesan?”

“Iya, segelas machiatto seperti biasa. Dan kurasa ini milikmu.” Ia menyerahkan Bic tua itu di atas meja.

Thanks.”

“Bukankah ini terasa seperti déjà vu?” Ia meringis.

“O ya?” Alisku berjungkit.

“Hanya bedanya dulu korek itu punyaku,” ujarnya; aku terkekeh; mengangsurkan sebatang American Eagles Menthol padanya.

“Aku tak tahu kalau kau keranjingan rokok organik sekarang.” Ia mengambilnya satu. Menyundutnya dengan lekas lantas mengembalikan pemantik kuning itu padaku.

“Semacam itu.” Rokokku nampak renyuk—lantaran insiden rokek mekanik tolol barusan.

Well, bagaimana pekerjaanmu, … kurator hebat?” Ia masih mencoba mencari istilah itu di dalam diriku; kurator hebat, pacar ekstentrik, well, kurasa aku tidak terlalu ingin membahas soal frasa yang terakhir.

“Tidak terlalu hebat. Madison Square yang bising; penyelia superperfeksionis; klien galak.”

Kit terbahak, menyugar riapnya yang sengkarut. “Kurasa kau kangen rumah.”

“Mungkin saja. Tapi tidak dengan berkas-berkas pekerjaanku.”

Kit menggeser berkas-berkas itu ke hadapannya. “Pollock dan de Kooning? Dua pelukis kesukaanmu?”

Aku mengangguk. “Storefront[3] akan mengadakan ekshibisi minggu depan.”

“Berencana membeli?”

“Yang benar saja,” aku tergelak, “Aku menjaga stand untuk para klien. Semacam patroli keliling.”

“Pekerjaan yang mengagumkan,” ujarku, menyesap rokok di selipan jemari. Kit beringsut ke konter pengambilan, menyeruput machiatto di gelas karton sembari berjalan.

“Kau banyak berubah, Jes.” Ia baru saja terperenyak ketika membuka topik baru. Aku gegas menyurukkan rokokku ke asbak yang nyaris meluap. Mendengar senandung Echobelly di stereo kedai. Kit yang pertama terbahak. Ia khatam apa yang aku lakukan dulu.

“Tidak dengan mata hitamku,” kilahku, sembari mencoba menirukan lirik Great Things di bait reff; bergaya centil semenyebalkan dulu, kala bersolek di depan cermin toilet.

“Gaya keren itu masih ada padamu kok,” seru Kit. Ia terpingkal, berusaha mengeluarkan asap rokok sambil terbatuk-batuk.

“Kau juga, Kit.” Ia tersenyum, menyesap cangkir ristretto yang sudah dingin. “Masih mempertahankan Chuck Taylor itu?” Aku menendang sepatu uzurnya sebelum tatapan Kit membuatku berpikir dua kali untuk kembali memesan penerbangan pulang. Mungkin kau kangen rumah. Entah rumah mana yang kumaksud. Kondoku di Queens? Tapi kata-katanya bisa jadi benar. Aku tak ayal memikirkan rak-rak tua The Cupboard ketika dulu kami mencuri sebotol Merlot dari cellar. Berlari kesetanan sepanjang malam. Bercumbu di jok belakang Mustang ayahnya.

“Fort Collins sudah banyak berubah, Jes,” sergahnya. Aku memalingkan wajah dari jendela. Menatapnya lurus-lurus. Tangannya menyumpit puntung separuh hangus dari pinggir asbak. “Kau ingat lapangan di samping rumah orangtuaku?”

“Iya, tentu saja. Kau nyaris tertidur di sana lantaran takut terpergok Amy setelah pesta semalam suntuk.”

“Daya ingat yang bagus.” Lebih banyak tawa, hanya saja ia tak tampak seceria itu. “Mereka baru saja membangun pusat perbelanjaan di sana.”

“Sayang sekali. Kukira aku ingin mengunjungi tempat bersejarah itu lagi.”

Well,” kepalanya berjengit, “entahlah, mungkin yang bisa kau temukan di sana hanya sekadar kebisingan.”

Seperti yang kami buat malam itu? Senandung Sonic Youth dari walkman Kit, ocehan-ocehanku di pangkuannya, menatap langit bergemintang. Berandai soal masa depan ketika tahun senior nyaris berakhir hanya dalam hitungan bulan.

“Setidaknya tempat itu tidak sebising Chinatown di Manhattan.”

“Agaknya kau perlu mengajakku berkeliling jika melipir ke New York suatu hari nanti.”

“Tentu saja. Kau takkan membusuk di tempat ini ‘kan?”

“Untuk sementara waktu sepertinya aku perlu mencuri istilah itu darimu.” Deretan gigi putihnya menyembul. “Aku baru saja mendapat kontrak mengisi scoring terbaru untuk sebuah proyek independen.”

“Wow, Kit. Kau masih bermain di area avant-garde?”

“Tidak banyak yang dapat kulakukan. Aku masih menyukai Sonic Youth dan Jonny Greenwood, asal kau tahu.” Ia menjentikkan rokoknya sekali di sembiran asbak sebelum menyuguhkannya padaku. Seperti terakhir kalinya, di malam terakhir kala kami berpelukan dan aku menaiki kereta pertama menuju Denver keesokan hari.

Menjadi remaja memang payah. Dan satu ide yang tercetus di otakku kala itu, aku ingin cepat-cepat dewasa. Mengenakan blazer, mengitari satu per satu ekshibisi di Tribeca untuk mendapatkan sebuah lukisan Pollock untuk dinding kondominiumku. Tapi, tahu sendiri berapa harga satu lukisan Pollock dalam sekali lelang.

Pura-pura memajang senyum, Kit pasti diam-diam menaruh dongkol dalam hati. Aku meninggalkannya senja itu. Dan kini malah kembali dengan berkas-berkas tolol ekshibisi Pollock dan de Kooning alih-alih mendapatkan lukisannya dan membawanya di sisi meja.

“Bicara soal pernikahan Deb, apa kau tidak mengundangku untuk pernikahanmu?”

Aku nyaris tersedak kalau menyesap ristretto di dasar cangkir. Menyembunyikan kedua tanganku lekas-lekas di bawah meja seolah baru saja terpergok mengunyah camilan Hula Hoops di balik dinding kubikel.

Shit, Kit. Dia tahu rahasia terburukku. Ini ulah Neil. Aku tak benar-benar ingin menerimanya, setidaknya setelah hari bersejarah Deb. Dan aku lupa melepaskannya lantaran gelagapan memesan tiket terakhir untuk keberangkatan bus menuju Fort Collins.

“Sini!” Kit tak benar-benar serius, ia baru saja menjulurkan tangan, menarik lenganku.

“Ini benar-benar memalukan, Kit.” Aku membuang muka.

“Jadi siapa pria beruntung itu?” candanya, bertelekan siku, menopang dagu.

“Baiklah. Namanya Neil. Kami baru bertemu beberapa bulan. Dan ia memberikan benda itu dua hari yang lalu.” Manik biru Kit masih berbinar; tak sabar menelisik cincin platina itu ketika aku menyerahkannya di telapak tangan.

“Lantas, apa yang kau katakan padanya?” Ia menyesap rokok kami yang ketiga. Batang pendek nyaris menyentuh filter.

“Tidak ada. Aku tidak berkata apa-apa. Ia mengizinkan diriku menyimpan benda itu begitu saja.”

“Yang benar saja? Kali ini aku tahu, kau masih seperti dulu, Jes. Si Gadis Mata Hitam itu yang gemar bilang, terserah katamu, Kit.”

Okay, okay. Aku masih memikirkannya. Entahlah. Aku tak bermaksud bertemu Neil secepat itu.”

Kit tertunduk. Entah gagasan apa yang menyembul di balik rambut ikal kecokelatan itu. Apa ia kecewa? Kata-kata kami dulu bahkan tak sempat tersambung; sekadar terputus, dan ia menatapku dengan sebuah raut penuh ragu.

“Aku juga bertemu seseorang, Jes.”

Satu ketukan kecil dari telunjukku.

“Kate Hudgens. Kau tahu, yang berambut hitam sepinggang dulu.”

“Ah, ratu gosip itu.” Manikku jelas menyalang, tapi dadaku bergemuruh.

Kit mendengus geli. “Ia tidak secerewet itu sekarang. Kami sudah bersama untuk tahun kedua.”

Kurasa, aku terlalu banyak melewatkan hal di Fort Collins. Malam bujang Deb, pertemuan Kit dengan Kate, lantas apa lagi?

“Kau masih sahabatku ‘kan, Jes?” Aku benci tatapan teduh itu; sepertinya ada yang tidak beres.

“Tentu saja.” Aku terkekeh sok bahagia. Pengendalian situasi, benar, hal itu yang paling kubutuhkan saat ini.

“Aku tahu, ini terdengar sedikit memalukan—membosankan, sepertinya. Terlebih bagi gadis New York seperti dirimu.” Ia menggaruk tengkuknya, seperti ketika aku menatapnya tanpa ekspresi untuk tembang ciptaan sumbang di hari ulangtahunku yang ketujuhbelas. “Aku ingin saran hebat untuk melamar Kate besok.”

“Wow! Dan kau akan membayarku dengan apa?”

“Dengan sebuah kartu undangan?” Dahinya berkerut. “Aku pasti mengundangmu, Jes. Dan jangan lupa katakan hal itu juga pada Neil. Kalian harus mengundangku.”

Bibirku mengerucut. Aku menggigit bagian bawahnya yang kering. “Pakaikan cincin itu di jariku. Mari kita lihat kemampuanmu, anak muda,” ujarku dengan nada takabur.

Kata-kataku sesungguhnya tak benar-benar serius, sekadar mengerjai Kit. Aku menebak responsnya yang makin salah tingkah. Mengerang dengan frustasi.

Aku tertawa dalam hati.

Kit masih tidak berkata-kata; kepalaku berjengit. Dan ia hanya menyentuh lenganku begitu saja. Menggapai tangan kiriku. Dan satu tatapan lurus yang membuat tengkukku meremang. “Kate?”

“I-iya.” Ini konyol. Pasti suaraku terdengar parah barusan.

“Kau tahu, aku ingin mengatakannya sejak lama. Untuk hari-hari yang kita habiskan bersama. Setelah dua tahun. Kurasa aku ingin melamarmu. So, kau akan menerima cincin ini ‘kan?”

Anggukan itu terasa berat di kepalaku. Ia menyelipkan cincin pemberian Neil di jari manisku, tempat di mana seharusnya benda itu tersemat. Lantas, kaki jenjangnya mulai menarik etape di antara kami. Derit kursi itu seharusnya tidak menjadi masalah.

Kit berdiri menjulang di sisi meja. Kupikir ia akan pergi. Aku lekas-lekas berdiri, alih-alih, ia merengkuhku dalam pelukannya. “Bukankah itu hebat, Jes,” bisiknya di telingaku.

Cukup menutup mata. Aku membayangkan sebuah ruas jalan panjang di tengah malam. Kami bergandengan pulang dengan keadaan pengar. Membagi Marlboro pertama, yang ia curi dari rak Amy, di konser Lou Reed padaku. Mencumbunya lebih lama di bench taman. Menarik kembali kata-kataku kala berbaring di pangkuannya.

Dan berhenti berandai tentang perihal menjadi dewasa.

______________________________________________________
[1] jasa bus umum antar negara bagian, New York menuju Fort Collins
[2] epitel untuk John F. Kennedy; bandara internasional New York
[3] sebuah galeri seni yang terletak di kawasan Tribeca, New York.

KOLAM BEBEK.

Ibarat sebuah kolam, aku harus mencelupkan kedua tungkai kaki. Begitulah hidup; singkat, dingin, dan menggigit. Sebut saja aku A. Penulis gagal, lajang di akhir tiga puluh, dan pengangguran. Yep, tak lebih dari sebuah komposisi ekstremis abad keduapuluhsatu.

Tiga—lebih tepatnya empat—bulan semenjak kertasku kosong. Dengan dua pak Winston, satu pemantik Bic, kupikir, mulanya aku siap berperang. Menggempur ide-ide mengenai klona dan drona-drona di kepala. Alih-alih, sebuah cemooh. Perjalanan hebat milik pasukan Kremlin digebah perkusi tolol Dominic Howard.

Bukan salah Howard. Aku mencoba mencucuh rokok ketiga dari pak kedua. Asbak tengah meluap. Dan bunyi ting serta-merta meringking tanpa ada pangkal-ujungnya. Aku terpaksa membawa mesin ketikku turun dua lantai, menjinjingnya lebih dari lima blok ke SoHo untuk sebuah barisan yang mengular dari antrean mesin kasir Jo.

“Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Jo senja itu. Pojok soliterku sedikit redup. Dibasuh temaram kandil oranye. Aku berusaha menebak apakah itu masih senja yang sama ketika aku meminta Horchata panas tanpa gula. Memerhatikan jemarinya yang ia gasak beberapa kali di apron hijau. “Boleh minta satu?” pungkasnya, terduduk di sisiku.

Serta-merta kuangsurkan pak merah manyala itu ke hadapannya. Ia menyundut satu batang. Punggungnya melesak di sandaran sofa. “Bukan hari yang baik?” Asap secepat kilat berjumat pagu.

Aku mengedik, membiarkannya mencuri lihat kertas renyukku yang kesepuluh. “Tidak begitu baik untuk agensiku.”

Well, kuyakin, kau hanya perlu menikmatinya.” Ia menyesap sekali lagi, lantas mengoper batang yang sama padaku. Asap itu merebak melalui hidungnya yang bangir.

“Tenggelam dalam kalimat-kalimat yang sama untuk kesepuluh kali?”

Estafet rokok ini mulai membuatku kehilangan akal.

Ia terkekeh. “Dan kembali ke kertas pertama kala kau memikirkan sesuatu.”

“Yang benar saja?”

“Ini perkara meracik kopi. Terlalu banyak elemen pemanis sampai kau lupa pahitnya.”

“Dan kau baru saja lupa soal giliranmu,” pungkasku.

Well, sorry,” ujarnya. Kami seolah-olah tak perlu menghitung, senja yang satu ke senja berikutnya, dan puntung itu akan memendek dengan sendirinya.

“Aku lupa bertanya soal jumpa persmu minggu lalu? Apakah itu hebat?”

“Entalah,” aku masih mengepulkan asap sembari bernostalgia. Seingatku hidup dan semengenaskan itu. Boleh saja menempatkan di tengah kolam bebek. Tapi, aku selalu menjadi perenang nomor satu.

Aku menyesap lebih banyak nikotin Winston sementara paru-paruku menggelar orasi. Di panggung petang kelima di bulan Oktober, aku mengalami sensasi tenggelam yang pertama.  Lantaran pertanyaan itu meluncur, apa inspirasimu terhadap karya hebat itu?

Entahlah. Kupikir, aksi mengenai distrik sembilan puluh tak lagi menjadi hebat di benakku. Kata-kata lawas, pemikiran-pemikiran Yorke hanya akan mengenap seperti serapah Nietszche di radio. Kopong; berangsur diberangus pemikiran baru.

“Kuyakin mereka masih memujamu seperti dulu,” bujuknya; aku mendengus.

“Seperti kala kau membawa antrean masa itu di minggu pagi untuk tanda tanganku?”

“Tentu saja.”

“Jangan konyol.”

“Aku sama sekali tidak mengada-ngada.”

Bagi seorang A, aku benci berjalan di tengah kloset trofiku. Mengenang masa lalu malah tambah membuat pilu. Satu kata kutulis, kupikir aku tak lagi seperti dulu. Dengan kata-kata cerkas, aku membual dengan hebat. Jurus-jurus jitu memerangi kehidupan. Tapi, aku justru kalah dalam pertempuranku sendiri. Bukankah itu lucu?

Jo tidak menyahut, ia menurunkan kedua kakinya yang tadi tercangkung di depan dada. Lafayette Street di pukul sebelas. Berjam-jam kami bermain kata. Dan ia baru sadar kalau harus menutup tokonya.

“Kau akan menutup pembicaraan ini begitu saja?” tanyaku serta-merta.

Ia mengedikkan bahu.

“Tanpa wejangan dan pemikiran-pemikiran sinting?” Aku tahu, permainan senja itu tidak berjalan seyogianya, alih-alih, sebuah konsultasi sinting mengenai kolam bebek.

“Kau sudah terlalu banyak memilikinya.”  Jo beringsut menuju kaca muka, membalik papan “open”.

“Jangan bercanda,” singgungku, enggan membereskan kertas yang bertemperasan di atas meja.

“Ingat bagaimana kau membuatku?”

“Kupikir kau seorang barista hebat, Jo.”  Dan Jo memang kian hebat disanding pertama kali menjumpainya di balik pintu.

GERIMIS YANG MERINGIS.  

“Aku gak tau kalau kamu ngerokok,” katanya, diikuti derik pintu. Masih menyisakan derai tawa dari dalam ruangan; suara stereo dengan ringkingan tembang kasmaran Nidji ikut merembes keluar. Aku baru saja akan membuangnya. Lekas-lekas. Lebih lekas lebih baik. Tiga sesap pun tak sempat tandas. Batang baru dicucuh dua menit lalu. Aku terbatuk keras. Asap bertemperasan ke mana-mana; tangannya lekas merebut batang hitam itu dari jemariku.

“Si—” aku akan mengumpat dan menonjoknya kalau perlu. –alan? semburku dalam hati. “Mas Ra—”

Aku tak sempat melanjutkan perkataan bodoh itu lantaran melihat alisnya yang dijinjing naik. Bibirnya menyesap rokokku. Mencuarkan asap pertama lewat cuping hidung. “Sudah lama rasanya,” ia mendengus. “Aku berhenti di hari Minggu, tiga tahun lalu. Ingat?”

“Er …” perkataan itu kupungkas dengan sebuah tawa. Kekeh muskil tentang hal-hal yang seyogianya tak perlu kutemui. Ia mengangsurkan rokok itu; aku menyesapnya sedikit, menyemburkannya dengan leret terpendek seperti seorang amatir. Mengapa ia berada di sini sih?

“Aku gak tau kalau kamu ngerokok.” Masih pertanyaan yang sama. Ia tidak bosan untuk bualan retoris macam itu. Kuperhatikan pernampilannya yang separuh kusut. Sepatunya yang mengetuk aspal pelataran trotoar; bersihadap denganku.

“Saya juga gak tau kalau Mas pernah ngerokok,” sahutku, tersenyum gemas.

“Raka,” ia coba membetulkan. Tentu saja aku tahu. Raka. Rakata. Nama lengkap yang coba ia tutup-tutupi di kartu nama. Dini, yang dulu menaruh rasa pada Raka, pernah memberitahuku, mencukil banyak-banyak informasi tentangnya, kala kerja profesi dulu. Sayang, terakhir kali kujumpai namanya, frasa tiga kata itu sudah terembos dengan efek perak di kartu undangan.

“I-iya, Raka.” Aku menilik ke arahnya. Memasukkan sebelah tangan di saku jaket. Berjungkat-jungkit dengan tumit. Menikmati langit Bilangan Kemang yang kian meredup. Desir angin yang meletup-letup.

“Kamu sudah keburu menghilang sih,” ujarnya; aku menjentikkan abu di sisi beranda depan.

“Kontrak kerja saya habis. Tahu ‘kan? Hanya mahasiswa magang.” Bara di jungur puntung bergemeritik kecil, aku memberanikan diri meniliknya dari samping.

“Egi mencari kamu sejak tahun lalu. Katanya kamu menghindar.”

Ia masih berhubungan dengan Egi. Tentu saja. Proyek teater di Singapura. “Enggak kok. Aku hanya pindah kerja,” dalihku.

Raka tidak memperpanjang debat kusir kami. Sementara aku menyesap lebih banyak asap. Sempat kuangsurkan kotak Djarum itu padanya; rasa teh celup, barangkali ia mau. Meneror kata-kata insyafnya dengan konspirasi asap terbaru. Ia meringis. “Kamu kerja di mana sekarang?”

“Di Jakarta.”

Raka tertawa. “Kalau itu sih, kita juga lagi di Jakarta, Rin.”

Aku tercekat. Kenapa harus Rin? Aku enggan dipanggil begitu lagi. “Panglima Polim,” ujarku cepat. Seolah-olah enggan diinterogasi. Puntung itu sudah nyaris habis. Aku membuangnya; melindasnya dengan jungur sepatu. Tak lagi menggunakan Chuck Taylor usang kebanggaanku yang kerap menerjang limpas hujan dulu. Lantas, mengecek angka di arloji. Jarum merujuk ke angka tujuh.

“Saya pulang dulu ya.” Aku baru saja merogoh tas duffle; mengorek ke samping sampai menemukan payung kecil.

“Apa kamu selalu begini?” sambarnya sekonyong-konyong. Ia menusir pergelangan tanganku.

“Er?” Tatapan kami bersirobok; aku dengan raut bingung; ia dengan senyum 1-0 itu.

“Dulu juga begitu.” Suaranya terdengar mendekat.

“Begitu bagaimana?” Dahiku mengerut.

“Kamu selalu menghindar, Rin. Aku pengin nganter kamu pulang kali ini.”

Bukan opsi terbaik. Aku tak jadi menarik tuas payung. Hanya gaya canggung mirip orang yang tak jadi terbang. Ingin terenyak, tak ada kursi di belakang; memilih jongkok, rokku pasti akan tesingkap naik. Duh.

“Tapi, Mas—”

“Raka,” koreksinya entah untuk yang keberapa kali.

“—iya, Mas Raka. Saya gak apa-apa kok jalan sedikit ke sana, sebentar lagi saya dijemput.” Ia menahan tanganku; sementara kaki-kaki itu ingin lekas meninggalkan beranda resto.

“Kamu masih dijemput—”

“Dina!” pekik seorang dari sisi samping; Raka yang terlebih dulu menoleh. “Kami pulang duluan ya!” Rika, rekan kerjaku, berpamitan sambil melambai kegirangan. Rambut pink manyalanya disimbur cahaya lampu. Ia tidak sendirian.

“Eh, pacar kamu ya?!” Dan celetukan Biyanti pun sukses membuat Raka terpingkal. Tangannya pindah ke belakang kepala. Bingung. Entahlah. Ini posisi terburuk sepanjang masa.

“Buk—” aku berusaha berkilah.

Keduanya silih bisik. Gunjang-gunjing di belakang. Luar biasa. Naga-naganya besok semua orang akan tahu hal memalukan itu.

Bye!” sahut keduanya. Tanganku melambai kecewa.

Shit!

“Kamu ditinggal deh,” sergah Raka. Aku melirik ke arah bawah, menelusuri pantalonnya yang terseterika rapi. Mengerling ke atas.

“Gak apa-apa kok, Mas. Saya bisa pulang sendiri. Indekos saya deket. Cuma beberapa menit kalau naik taksi.”

“Ini sudah malam, Rin.” Aku pernah kenal nada itu, kala ia menutup presentasinya dulu. Raka enggan dibantah.

“Tapi—”

Ia menarik tanganku begitu saja. Mengambil payung mungil itu untuk dibagi berdua. Langkah-langkah rikuh. Aku menyeret flatshoes-ku dengan enggan; sementara loafer miliknya digelontori hujan.

 .

.

Pembicaraan kami tak langsung dimulai. Raka masuk dan mengempas pintu; memasang seat-belt. Dan aku masih mematung. Terenyak pada jok empuk Camry miliknya. Entahlah. Aku tak percaya, sekarang Raka sungguh punya Camry. Menatap lurus-lurus ke arah depan; Raka menarik tuas presneling ke belakang.

“Kenapa bengong?” tanyanya, melintasi lapangan parkir.

Aku menoleh ke arahnya. “Kamu punya Camry?”

Ia terkekeh. “Iya, kenapa? Kamu teringat Raka bikinan kamu tiga tahun lalu itu?”

Wajahku memerah. Hanya sebuah kebetulan. Aku menutupinya dengan tawa. “Saya bahkan sudah nyaris lupa.”

Ada jeda. Pun ada aroma kopi. Bukan artifisial seperti yang kerap kuendus di jok mobil seseorang dulu. Alih-alih, aroma dari gelas karton Starbucks di bawah kompartemen dasbor. Ia meraup sesuatu di samping tungkai kakiku.

Sorry ya,” ia tersenyum jengah; meruyak kantong belanjaannya dengan susah payah.

“Sini biar saya bantu,” tawarku.

“Gak usah kok.” Memamerkan senyum jenaka dari bawah sana. “Buat kamu,” angsurnya. Raka menggigit satu yang menjadi jatahnya, memutar kemudi, dan berhenti di depan stopan perempatan Jalan Pelita Abdul Majid.

“Kamu kerja apa sekarang?” Ia masih masyuk menggigit. Tak jenak dengan gigitan kecil, lantas berbusa-busa soal gigitan besar. Aku menatapnya geli.

Account executive,” itu hanya cericip pelan di antara lindap radionya. “Run” dari Collective Soul, berkerap terang di layar display.

“Bukan copywriter?” tanyanya, menginjak pedal gas.

Egi pasti bercerita banyak. Dulu, ya, dulu aku pernah suka. “Bukan,” sahutku, mencengkeram keliman rok.

“Aku pikir kamu suka menulis.

“Enggak lagi. Dengan modal menulis susah kalau ingin bertahan di agensi.”

“Kupikir, Dimas orangnya open-minded.”

“Tunggu,” ujarku. Dimas? Aku tak jadi melempar tatapan ke luar jendela.

“Atasan kamu Dimas, ‘kan?” Menggigit apel dengan bersemangat; tatapan cerkas; ia tengah menunggu.

Aku menarik napas; memejamkan mata. Tiga tahun, kupikir tidak akan ada momen ini. Interogasi sinting yang memergokiku masuk ke agensi tolol dengan portofolio yang kubuat dua hari lalu. Agensi milik Dimas—Dimas Prasetyo yang membutuhkan junior account executive.

Aku tak kunjung menjawab. Takut itu merayap. Menaiki jemari. Lantas merongrong kaki. Aku ingin keluar. Buru-buru kutarik tuas pintu. Selotnya terkunci. Kubuka ristleting tas, menarik satu pak Djarum Black. Ia merebut kotak hitam itu dari tanganku.

Raka meminggirkan mobil sekonyong-konyong. “Gak ada Okta di rokok ini, Rin.” Ia membuka penutupnya, menekan tombol jendela, lantas membuang puntung-puntung itu begitu saja.

“Raka!” pekikku.

“Sampai kapan, Rin?” Matanya berkilat-kilat, disilap remang lampu jalan. Dengusan pertama tercipta dengan canggung.

Aku menggigit bibir. “Kontrak saya sudah berakhir.”

“Tapi, belum dengan Egi. Egi perlu kamu, Rin. Elegi juga.”

Egi keluar hanya untuk Elegi. Proyek agensi iklan amatir ciptaannya. Aku pegawai pertamanya, ia merekrut diriku dengan embel-embel copywriter, pekerjaan idamanku kala kami silih bertukar tatap dendam di masa orientasi dulu.

“Proyek itu kandas,” sebutku pelan. Menjatuhkan apel pemberiannya di sisi konsol tengah.

“Lantaran tidak ada yang mendanai?” tantangnya; tak perlu dijawab; pasti ia serta-merta bersedia. Aku menarik tuas pengunci dengan paksa. Tak peduli hujan, payungku kubiarkan menghuni sela jok belakang. Pintu mobil terbuka lebar. Aku berlari, melindungi kepala dengan tas duffle.

“Rin!” pekik Raka. “Dan aku juga,” sebutnya pelan. “Aku perlu kamu.”

Aku bohong soal pertemuan terakhir kami. Bukan tiga tahun lalu di kursi kafe itu, tapi tiga tahun lalu saat Raka mengucapkan kata-kata yang sama padaku. Tapi, aku malah menyesap rokok di belakangnya.

Tanpa sepengetahuannya aku menyimpan sesuatu yang hanya dapat kunikmati tentangnya dari jauh. Menyesap Djarum Black yang selalu Okta kepulkan di hadapanku.

Kaki-kakiku ingin berlari, tapi tak selamanya dengan berlari aku dapat melarikan diri. Ada rengkuhan di belakang sana; saat mata-mata di sekelilingku menatap; saat gerimis yang tadi meringis kini terasa mengiris.

Mars

WARNING: M-Rated. Crime scene. Physical Abuse.
___________
  
 
Sekali seumur hidup, aku memperhatikan dinding berbusa setebal lima senti itu. Partisi yang seharusnya menyumpal ringkingan Russell dari bilik rekam. Ada sebuah poster yang tergantung di pojok sana. David Bowie dengan rambut merah manyala, celak menor yang melabur sepasang mata, pun sebuah imajinasi tolol mengenai penakluk angkasa.

“Zig?” Ada dua yang tercetus di otakku; namaku yang dipanggil atau ia malah berpikir bahwa poster bertuliskan Ziggy Stardust itu baru saja akan balik membalas ucapannya.

“Hmm?” sahutku. Kepalaku pengar. Terlalu banyak konspirasi yang terjadi, antara Mayfair dan Marlboro. Ia baru saja mengoplos bungkus biru itu menjadi satu.

Punggung itu masih belum berbalik. Telanjang sama seperti diriku. Torso sempurna. Ia menggial dengan permainan pelik di kepalanya. Aku masih bertanya-tanya, mengapa ia tertawa? Apa karena ia berhasil menjebakku? Menanggalkan bajuku satu per satu? Anggap saja ia menang taruhan atau roulette Rusia.

Tulangku terasa berderak kala aku berbalik arah. Menghadap tungkai kursi putar dan stool yang baru saja diringkus Dev dari ruangan sebelah. Hidungku nyaris terpagut tungkai besi. Memang sungguh kacau keadaannya. Bisa kujelaskan. Tapi tak pernah kuinterpretasikan. Ini adalah katastrofe. Dengan peluh yang tertinggal di pelipis. Jins yang tertukar ukuran di sisiku. Aku masih bertanya, ini milik siapa?

Kami berbaring tanpa beralaskan matras. Hanya punggung beradu punggung. Bahu menyentuh bahu. Aku mencoba lima gerakan bercinta yang selalu ingin dipraktikkan Joan dulu. Memang tidak seharusnya aku memikirkan Joan. Tapi, aku tak dapat melupakan derai kikiknya kala malam pertama.

Bilik mixing itu hanya kamar berukuran dua kali tiga, mirip kamar mandi, dengan perangkat Neve VR60, sebuah papan tolol yang kerap dibanggakan oleh Russell. Tidak besar. Tumitku bahkan baru saja menabrak bokongnya. Dan ia mendengus spontan.

Sorry,” ujarku.

Aku pikir ia pasti terlelap setelah gerakan kelima. Dan sayup radio AM masih menyahuti pasca-manuver gilanya. “Tidak ada ampun untukmu, Zig.” Aku bisa menatap manik biru itu di hadapanku. Bertelekan sebelah siku. Riap rambut yang menyembul mungil di balik daun telinga.

Betapa beraninya aku mempertontonkan gigi. Tergial kecil dengan sedikit raungan birahi. Ia mengulurkan sebelah tangan, menyugar anak rambut di tengkukku. “Ingin Chiclet?” tawarnya. Lima jam berlalu sejak sesi diskusi palsu itu. Joan menelepon lebih dari lima kali di penghujung malam. Alih-alih, aku terlalu masyuk dengan puntung-puntung Mayfair yang teronggok di asbak.

Abunya bertemperasan. Saat menatap ke kiri, aku dapat mencium napasnya yang dihuni Brooklyn Lager. Suatu hawa yang begitu maskulin, begitu Amerika. Seperti epos-eposnya yang berlatar pegunungan di Colorado.

Ia menunggangiku entah untuk kali keberapa. Bibirnya yang maju. Dua kali lebih dekat. Dan aku dapat merasakan kemaluannya tergoler, menggelitik perutku. Frekuensi AM di radio masih menyahut rendah. Volume terteduh yang baru saja menjamah telingaku.

“Chiclet untukmu, Darling.” Ia memanggilku “darling” malam itu. Tidak seperti Joan yang tak memiliki nama panggilan untuk siapa pun. Ia menyembunyikanku di balik dapur, di bawah konter, di samping kompor kalau bisa. Ia malu jika seseorang menemukanku tidak sebagaimana mestinya.

Aku membuka mulut merasakan karet lekat itu terimpit di sela gigi.

Thanks.” Menirukan decak lidahnya yang terbiasa melumat permen karet.

“Aku menyukaimu Zig.” Ia masih berada di atasku kala tangannya terulur ke samping. Aku membantunya menggapai sebatang Marlboro lisut. Tembakaunya sudah luruh seperempat. Tapi ia masih menjejalkannya dengan paksa di sela bibir, lantas menungguku menyelomotinya dengan api.

Ia menyisapnya sekali; menyelipkan sisanya di bibirku.

“Kupikir ini semacam one night stand?”

“Entahlah.” Bahuku teredik. “Kupikir juga begitu. Tapi, bukankah ini menyenangkan?”

Aku tak menjawab. Menyenangkan? Ia memang luar biasa, itu yang cukup kuakui. Tapi, aku mulai memikirkan Joan.

“Kau memikirkan dirinya?” tanyanya, seolah dapat mengintip ke dalam kepalaku.

“Aku memikirkan Creedy.”Itu yang kedua. Aku mulai berpikir banyak belakangan ini. Tidak hanya Joan. Aku terlalu kesal padanya sampai tidak bisa berpikir, tapi aku masih berpikir tentang Creedy dengan langkah kenesnya.

“Persetan dengan dirimu, Zig!”

Aku tahu, ia akan mengumpat. Seperti kata itu tak pernah punya batasan untuk keluar dariekspirasinya. Ia akan bernapas sebanyak ia mengumpat.

“O, hentikan,” pintaku. Aku berusaha menyentuh hidung bangir itu dengan cuping hidungku. Sekonyong-konyong saja tangannya berpindah. Tak ada belai. Ia sadar kalau Marlboro-nya baru saja dieksploitasi terlalu banyak sampai menyumbat pembuluh otakku.

“Kembalikan!” Tangan kekarnya merebut puntung itu begitu saja. Menggeser duduknya, memunggungi wajahku. Dengan tulang punggung terpapar lurus. Dua tungkai kaki yang terlipat menabrak dada.

“Jangan bilang kau marah untuk hal semacam itu.” Aku berusaha menyentuh bahunya; ia menampik seketika.

“Aku tak pernah memintamu untuk melepaskannya, Zig. Aku hanya benci padamu yang selalu saja berdilema untuk hal yang tak perlu.” Ia menarik napas sejurus. Menatap ke arloji yang tergeletak di sisi kaki stool. Ia menyesap puntung itu dengan lugas, menyemburkan asapnya lapat-lapat.

Istilah one night stand itu hanya ciptaanku semata. Sudah lima kali dalam dua minggu terakhir; sudah ribuan kali bibirku dipagut dirinya dengan semena-mena. Kemaluanku bahkan sudah dilecehkan puluhan kali dengan atraksi eksperimentalnya. Mulanya aku bertanya, apa aku yakin akan melakukannya? Hingga aku berlagak seakan-akan cumbu banalnya adalah yang paling kutunggu.

Ia menyelipkan beberapa lembar quid di kantung jinsku. Sudah pasti. Tak perlu ditegur. Ia hanya dapat menawarkanku hal semacam itu sebelum akhirnya aku menganggap bahwa pertemuan kami selepas diskusi rekam semacam kebiasaan yang diperlu diadisi lebih sering dan berdurasi lebih panjang.

“Hei, kau tak marah, ‘kan?” Aku masih tak yakin bagaimana semua ini akan berlanjut.

Jins kami nyaris saja tertukar. Rontek gespernya terdengar kontras kala aku mematikan tembang terakhir di radio.

Aku mulai mengenakan kaus, mengganjur lumberjack dan menyampirkannya di sebelah bahu.

“Aku tak ingin menjawabnya, Zig. Yang kauinginkan adalah lebih banyak quid, ‘kan?”

Ia masih dengan santainya mengenakan boots kasualnya, sementara aku tepekur. Jins itu baru separuh menutupi paha. Tak ada boxer aku hanya akan bertelanjang diri, mengenakan jins belel. Dan menggendong tubuh kenes itu di rumah.

Bye, Zig.”

Untuk kesekian kalinya aku mati langkah, ia dengan begitu lekasnya menyelinap dan melengos di balik pintu. Aku bahkan akan melupakan ini dalam jenak yang tak pernah terhitung sampai mungkin saja ponselku akan berbunyi di senja nanti atau tiga hari setelahnya.

Aku memungut ponsel itu di ceruk sofa. Tertimpa di balik bantal-bantal apak.

Dua puluh kali panggilan tak terjawab. Joan.

****

Bau itu harus pergi. Aku membuang Mayfair terakhir di stasiun Latimer Road. Pemantiknya kusembunyikan ke dalam ceruk saku. Bibirku mengunyah lebih banyak Chiclet yang kupungut dari babut bilik mixing. Tak boleh terpergok. Beberapa kali mataku mengerjap. Rasanya begitu perih setelah semalam terjaga menatap pagu. Perlu empat menit untuk berjalan dari Royal Oak menuju muka pintu. Arlojiku menunjukkan pukul tujuh. Jalanan sepi di pekarangan keluarga Jones. Hanya bunyi desis air yang otomatis berkeriap lewat alat menyemprot rumput.

Aku mendengus kecil. Memungut koran di patio. Bukan sesuatu yang biasa terlewat. Pekik girang itu bahkan sudah terdengar semenjak langkah pertama sneakers-ku beradu dengan telundakan kayu. Aku menolak menekan bel di sisi pintu; merogoh saku belakang dan memasukkan anak kunci milikku.

“Ziiiig!” Creedy menghambur secepat kilat ke dalam dekapanku.

“Hey! Selamat pagi, gadisku yang cantik,” sambutku, mengecup ubun-ubunnya, dan menggendongnya mengitari koridor depan. “Ke mana Joan?” bisikku.

Tak ada pekik ricuh milik Joan dari balik tirai, kendati aku dapat mendengar siulan kettle lewat lorong dapur. Tepat di sisi konter yang amburadul, Joan masih mengenakan baju hijau bertugasnya. Rambutnya tergelung asal.

Aku mengamatinya dengan diam; Creedy berbicara tentang ini dan itu; tentang apa yang baru dijumpainya di televisi; bagaimana Patrick dan Spongebob menghancurkan rumah Squidward dengan alat peniup karang. Topik-topik menarik yang seyogianya kudengar sebelum klakson Mustang itu meletup di patio depan.

“Habiskan roti pitamu, Creedy.” Suara Joan begitu dingin.“Aku akan mengantarmu sebentar lagi ke halte.” Pandangan kami bersirobok. Aku lekas-lekas menurunkan Creedy, ia terduduk lesu di pinggir meja.

“O, Joan. Bisa kita tunda ini sebentar?” rengeknya, “Zig baru—”

“Cukup, Creedy. Kau tak ingin terlambat, ‘kan?” Joan menatapnya lekat.

Creedy bocah yang penurut, ia benci roti pita, tapi gigi-gigi susu itu mengunyah kecil tepiannya sembari menggerundel.

“Iya, Creed. Aku janji akan mendengarkan ceritamu sore ini,” ujarku membelai rambut cokelatnya.

“Kau berjanji? Kau tak terlihat semalaman Zig.” Tatapan nanarnya menilikku sekilas.

Joan berdeham cukup keras. Itu salah satu dari koleksi triknya yang paling murahan.

“Tentu saja. Aku akan membacakan cerita dari Grimm Bersaudara malam ini.”

“Buku itu sudah habis.” Tak dinyana, Joan meletakkan pisau itu di sisi talenan, menatap singkat diriku dengan penuh kebencian. Creedy masih masyuk mengunyah—Joan takkan melempar benda tajam itu padaku.

“Dengar, Creedy. Bisa kau ambil tas dan buku-bukumu di kamar? Biar aku yang mengantarmu ke halte,” ujarku.

Creedy bukan gadis bodoh. Ia dapat mengendus situasi buruk; kaki lincahnya lekas turun dari kursi, lantas berlari menaiki tangga.

“Cukup, Zig!” Joan yang pertama kali berteriak. Aku menarik napas panjang. “Ke mana kau semalam?” tanyanya.

Ia berharap aku menatapnya mengenakan baju ER tolol itu dan meminta tolong padaku untuk menjaga Creedy sementara ia dapat bercumbu dengan salah seorang dokter kenalannya di pantry.

“Aku pergi ke studio.” Aku berusaha tenang, tak mengacuhkan pekik histerisnya, menggapai tuas pintu lemari es. Mengganjur asal persediaan kotak susu di dasar rak. Mereguknya dengan kasar.

“Dan menyelesaikan album gagal itu?” Joan sudah berbalik menghadapku. Berkacak pinggang, dilahap amarah.

“Tidak ada yang gagal, Joan. Kau akan mendengarnya sebentar lagi, asal kau tahu,” aku membisiki telinganya dengan sedikit seringai.

“Aku tak perlu janji, Zig.” Ia mendorongku cukup keras. “Kau tahu, aku mencari uang setiap malam dan kau malah menghabiskan semuanya dengan Mayfair dan gelas-gelas Bitter.”

“Aku bertanggungjawab,” pungkasku, meletakkan kotak susu tandas itu di permukaan konter.

“Untuk seringai palsu itu. Dan ucapan selamat pagi kepada Creedy. Aku meneleponmu semalaman, Zig. Sialan! Ia mencarimu semalaman dan aku harus bekerja.”

Aku enggan membalas pernyataan itu. Bagi Joan aku hanya suami yang tak berguna. Pemabuk kelas satu. Penggandrung rokok murahan Mayfair yang selalu berada di deret akhir rak mini-market. Seseorang yang agaknya hanya menjadi badut di pagi hari dan menghancurkan acara sarapan pagi.

Lidahku berdecak. Chiclet baru saja berubah rasa menjadi sedikit masam.

Aku menyepah ampas hambarnya di tong sampah. Semuanya terlalu mudah untuk dipecahkan, dari malam-malam setelah aku mendapatkan panggilan pertama, bersenggama dengan seseorang yang seharusnya tak pernah kukenal sebelumnya, tapi tak ada momen yang lebih menggiurkan ketimbang melihat otot-otot di pelipis Joan yang menegang.

Uang di saku belakang jins seakan menggelitiki punggungku untuk tertawa keras-keras.Merogoh ke ceruknya dan meletakkannya tanpa berkata-kata. Lebih dari onggokan quid yang dapat menyumpal mulut besar Joan.

“Dari—”

Aku menciumnya dengan paksa tanpa sempat mendengarnya bertanya. Ia meronta. Tapi, Creedy sudah terlanjur memanggilku dan mengayunkan kotak makan siangnya. “Ayo, Zig!” ujarnya bersemangat. Kaki-kaki mungilnya menandak.

Bye, Love,” bisikku, mengulum senyum.Joan punya cekung mata yang selalu kusuka saat pertama kali matanya, sepasang mata berkantung gelap yang menatapku lelah.

****

Dari balik kelir, aku mengintip pemandangan di bangku penonton. Hillgate penuh sesak dengan gunjing dan asap madat. Dua yang kuingat kala itu; jemariku yang kebas dan Ibanez yang perlu kuinjak. Dan satu petuah bodoh soal Ed O’Brien[1] yang sempat kurapalkan, tapi kini—kala lampu-lampu berkeredap di atas kepala—semua kalimat itu raib begitu saja.

Band-ku payah. Russell tak cukup tangkas mempermainkan gitar; Dev, yang terlalu pandir menghitung tempo, selalu membiarkan anggannya terpergok mengutip ritme milik Dave Groghl[2].

Aku berdiri dengan jins belel malam itu. Bukan dengan sesuatu yang besar. Satu ketuk dari drum kit Dev; aku memulai permainan pertamaku. Kami turun panggung dengan etape yang pendek, Russell meletakkan Gibson bekasnya di lorong belakang. Aku memilih menyesap Bitter dari konter bar. Rasanya buruk. Dan kasak-kusuk itu tak kunjung pergi. Mata-mata sinis yang mencaci selera musikku.

“Malam yang berat?” Jim, dari balik konter, tersenyum kecut.

Aku mengedik, pura-pura tidak mendengar. Bukan salahku yang mengumpat lebih banyak, Bitter itu serta-merta tandas disesapan keempat. Aku marah pada diriku sendiri; pada semua hal yang membuatku memberanikan diri di atas panggung. Kubayangkan raut Joan tadi pagi, bagaimana ia mencemoohgig pertama kami, tapi di saat yang sama aku membayangkan Creedy yang menandak kerasan kala aku memperkenalkan Fender Telecaster padanya.

“Bagaimana dengan satu minuman gratis malam ini?” Jim mengangsurkan satu pint Bitter padaku; membuka pembicaraan yang memang tidak seharusnya ia karang.

Thanks,” ujarku.

“Permainan yang bagus,” sergah seseorang di samping.

Aku nyaris tersedak. Dikerumuni ruap sedap di bibir gelas kedua.

Tom. Aku tak menyangka akan menemukan Tom di tempat semacam Hillgate. Tawanya tempo hari masih kuingat. Berjaket kulit alih-alih berjas necis. Pukul sepuluh di malam Jumat saat aku bertemu dengannya. Ia bersandar di konter bar tempatku berjengit, memperhatikan Brand Turner bersama band kebanggaannya melantunkan “505”.

“Kau punya bakat yang unik, Zig,” ia menyahut sekilas. Melempar tatapan padaku, yang masih terlalu sibuk menyesap lebih banyak Bitter di paruh gelas.

“Kau menonton pertunjukan kami?” Aku masih berada di lini tak percaya, mendapati Tom, adik Joan, menyaksikan penampilan tolol itu. Apa yang akan ia lakukan selanjutnya? Perutku terasa diaduk dengan lebih banyak Bitter dan tingkap-tingkap ide jahanam yang mungkin akan melompat dari tempurung kepalanya.

“Tentu saja. Kau kekurangan personil?”

Dahiku berkerut. Tom di pemakaman Peter adalah semacam bualan. Kendati salah memilih kostum; tidak mengindahkan larangan merokok di ruang tamu; membuang Clipper-nya semena-mena di sofa kegemaran Creedy, Tom tak nampak seperti penggemar aliran eksperimental yang dianut oleh kami bertiga. Rokoknya Marlboro, sungguh Amerika. Begitu pun dengan Brooklyn Lager yang selalu ia pesan pada pertemuan lainnya. Mengendarai Mustang dengan sebelah tangan yang bertelekan di kerai jendela.

“Bagaimana dengan posisi pemegang gitar utama?” tanyanya. Aku melirik curiga.

“Kami baru saja akan menghancurkan band imajiner itu,” pungkasku.

“Wow, kenapa?”

“Kau kentara tak menonton pertunjukan yang barusan.” Aku malas meladeni basa-basi aneh itu. Tom memang tidak bermaksud buruk. Tapi, aku benci gestur dan polahnya. Senyum yang sebentar-sebentar tersungging, tangan yang sekonyong-konyong terulur. Kami di Notting Hill tak pernah bertingkah seramah itu.

“Siapa bilang? Suaramu meleset di larik ketiga.”

Aku meringis. “Thanks. Aku akan menganggapnya sebagai komplimen.”

“Bukan masalah. Aku tertarik untuk ikut audisi.”

Aku terpaksa menerima kehadiran Tom di senja kedua setelah Russell dan Dev membuka sesi audisi di rumah Ned Statham. Harus kuakui, permainan Tom lebih baik dari Russell; suaranya sengau seperti Thom Yorke[3] menyanyikan saduran lagu pendek milik Venus in Furs[4]. Implikasinya mudah. Tom menjadi penggagas utama soal kelahiran nama murahan band kami—The Renegade, sebagai bukti pembalasan dendam terhadap kasak-kusuk di Hillgate. Ia pandai menggauli kata; mencuri obsesi yang selalu kubanggakan di depan Joan.

Luar biasa sialan, bukan?

Tidak ada embel-embel lain untuk Zig, selain tukang mabuk dan penggandrung aliran eksperimental yang gagal. Tom berhasil menggeser posisiku sebagai vokalis utama. Sekali berdeham, tepuk tangan sudah menampik di Notting Hill Arts Club. Aku bersembunyi di belakangnya, menginjak pedal, sebentar Dev mencuri ketuk ritmik barunya dari Phil Selway.

.

Cheers?” Bibir botol bir itu masih berembun, baru saja keluar dari mini bar. Tom terperenyak di sofa studio.

Dev masih di ruang rekam untuk take terakhirnya di single terbaru kami. Aku benci mengatakan kami, Tom lebih banyak mengambil alih, sedangkan aku hanya memberi premis penutup dengan menemukan efek perpanjangan dari status genre yang kami tetapkan—eksperimental. Bukan semacam musik progresif murahan.

Aku mengambil bir itu dengan asal. Enggan melirik ke samping. Rokok Tom kali itu berubah menjadi Mayfair, apa gerangan?

“Rokok?” Sudah kuduga ia akan mengangsurkan satu untukku.

Thanks,” aku mengambilnya satu, setelah menyesap bir dingin itu. “Mengapa kaulakukan semua ini?” Benci berpura-pura, pertanyaan itu pasti terdengar membingungkan baginya.

“Kau menginginkan semua ini ‘kan, Zig?” Ia ikut mereguk di sampingku.

Aku mengedik. Mungkin salah satunya. Tidak ada kasak-kusuk buruk mengenai gig amatir di Hillgate, pun terdaftar sebagai salah satu band yang paling ditunggu di Arts Club. “Entahlah. Aku benci harus mengakuinya.”

“Karena kau merasa akan mencapainya sendirian?”

“Aku hanya ingin menyenangkan hati Joan,” pungkasku.

“Bukan menyainginya?” Ia melirikku sembari mendengus, seolah tahu ke mana kata-kataku akan mengarah. “Aku tahu, kau kalah satu kosong dengannya.”

Keparat! Aku meletakkan botol birku di coffee table. Kusulut rokokku dengan Clipper merah. Berdiri secepat kilat menuju pintu keluar. Aku mengumpat lebih banyak di sela nama Joan.

Notting Hill kala itu hujan, pukul sebelas lebih seperempat, aku menolak pulang, alih-alih mengepulkan lebih banyak polusi asap ke udara. Jemariku memutih. Menyingkap ekor jaket, menarik ritsleting hingga menutupi dagu. Pintu kaca terayun di belakangku.

“Aku tak menyangka kau menjadi begitu tersinggung.” Tom tertawa keras, mengelap sisa bir di tepian bibir. Kakinya mengayun depan-belakang, berjungkat-jungkit seolah kehabisan gaya untuk melucu.

Aku melirik sinis ke arahnya, mengumpan tatapan menuju jalanan sepi di seberang.

“Hei, hei! Kau tak marah ‘kan?”

Kali ini ia benar-benar menyebalkan.

“Hentikan, Tom,” aku berjingkat singkat; Tom nyaris terjerembap menghantam tembok.

“Lihat. Aku tak menyukaimu sejak hari kita bertemu.” Aku memasukkan kedua tangan di saku.

“Itu lucu. Aku menyukaimu.” Menyesap lebih banyak Mayfair, obrolan kami terdengar semakin kacau. Kuanggap ia mulai mabuk kala itu. Dari sekejap mengumbar lebih banyak sesap, kini kedua kakinya sudah melompat-lompatmengusir dingin.

“Tapi, aku tidak,” aku bersikukuh dengan jawaban itu.

“Siapa bilang?”

“Tutup mulutmu, sialan.” Aku baru saja akan meninjunya, saat ia berjalan mendekat. Matanya biru—mata Joan yang tiap hari menghujaniku dengan rasa bersalah. Tangan kami beradu; tangkapannya menghantam kepalan tanganku. Dengih napasnya terasa menyapu pipi, tembakau bercampur tar busuk. Aku memperhatikan mandibulanya yang tirus.

Shit!” Aku berusaha mendorongnya menjauh.

Ia balas melempar tubuhku. Terjajar mundur dengan langkah limbung. Jemarinya meraup kedua pipiku. Menyasarkan ciuman di bibir. Aku ingin muntah. Menendang selangkangannya, alih-alih, mencengkeram kontur bata yang tersusun di sisi kepala.

“Aku akan membantumu mengalahkan Joan, Zig,” bisiknya.

Percik sinting itu hanya kurasakan sekali, terbersit di antara mata biru yang sama. Berdengih di telingaku. Aku membiarkannya mencumbuiku malam itu. Menarik ritsleting jinsku, menjilati apa yang seharusnya menjadi miliknya.Seolah lidahnya membungkam mulutku berminggu-minggu, ia menyelipkan tip pertama di saku belakang. Lembaran quid yang akan kulempar di hadapan muka Joan.

****

Aku dan Tom bertengkar hebat semalam. Untuk sebuah alasan yang retoris, aku menyelinap lewat pintu belakang. Langit masih gelap. Mungkin pukul tiga dini hari. Joan masih bertugas, pun Creedy yang dititipkan di meja resepsionis. Semuanya terasa semu. Aku tak sempat berganti pakaian, yang kulihat hanya samar pantulan bulan di kisi-kisi jendela. Terduduk di sofa ruang tengah,Mayfair-ku masih di selipan tangan. Asap terakhir dari yang estafet di perjalanan pulang. Aku mencoba menekan speed-dial nomor tiga. Nama Tom muncul di layar kaca. Empat kali nada sambung itu terdengar, ia masih enggan menerima sambungan.

Bukan maksudku untuk pulang. Alih-alih, Tom kerap mempertanyakan hal yang sama. Menyudutkanku untuk memilih dirinya atau Joan. Shit!

“Zig!” panggilan itu terdengar entah di pukul berapa, matahari sudah naik sepenggalah. Aku masih merasa disorientasi, bergelung di atas sofa. Joan menilikku dari jauh. Ia tak berharap banyak, hanya mata lelah dengan kantung mata yang menghitam.

Aku meraup Creedy begitu ia terperenyak di bibir sofa. “Morning, Creedy,” ujarku, mengacak rambutnya.

“Kau ke mana tadi malam?” tanyanya, mencoba menggapai remote teve di atas meja.

“Ini.” Aku menyerahkannya. “Kau tahu, Fender Telecaster yang kemarin kutunjukkan padamu.”

“Benda keren itu?” Alisnya berjungkit, Creedy masih mencari saluranyang tepat untuk tontonan di pagi hari.

“Aku akan memberikannya satu khusus untukmu.”

“Benarkah?” Matanya berbinar.

“Tentu saja,” aku sengaja membuat volume sok beranimo di ujungnya, melirik ke konter dapur, tempat biasanya Joan berdiri. Dulu aku begitu menganggumi siluetnya di pagi hari, setelah semalaman menonton serial Doctor Who. Bagaimana senyumnya menyapu telingaku dan aku menciumnya tepat di dahi.Hingga peristiwa-peristiwa sinting yang terjadi belakangan ini.

Joan tak berada di sana pagi itu. Tidak dengan mata lelahnya, aku mencari-carinya ke sudut ruangan.

“Creed, kurasa aku harus mencari Joan. Kau tahu ‘kan di mana kau akan menemukan sereal pagimu?”

Creedy tak terlalu menggubris, alih-alih, bersila kaki di depan layar kaca.

Aku segera bangkit dari sofa dan menaiki tangga. Pintu kamar kami tak terkunci. Joan sengaja membiarkan segalur celah. Etape singkat di mana aku dapat melongokkan tatapan ke dalam sana.

“Joan?” panggilku, diikuti suara engsel pintu.

Ia buru-buru menghapus air mata, terpogoh-pogoh menyembunyikan sesuatu dariku.

“Zig,” suaranya parau.

“Apa yang kausembunyikan di belakang sana?” Tatapanku berubah sinis. Berkontemplasi mengenai apa yang selalu ia gunjing bersama para tetangga, tentang Zig, suaminya yang pembelot, pengangguran sejati, menyesap Mayfair di Latimer Road dan lekas-lekas membuangnya karena takut bau itu mengikutinya hingga ke serambi.

“Bukan urusanmu.” Ia terjajar mundur.

Okay, bukan urusanku. Kau terus saja menutupi sesuatu, Joan. Lantaran aku hanya pria bodoh yang menyusahkan hidupmu?”

Pertengkaran baru saja dimulai. Kedua kalinya di minggu ini. Aku enggan memulai, tapi ia baru saja memancingku untuk melakukannya.

Joan tak menjawab. Tak biasanya ia membiarkan punggungnya dicium tembok. Duduk mencangkung di lantai dengan derai air mata.

“Sialan, Joan. Apa yang sebenarnya terjadi?!” pekikku frustasi.

Ia mengangsurkan benda itu perlahan. Persegi panjang dengan dua garis merah di tengah. Aku mendengus. Ia pasti bercanda. Pasti ulah para dokter jaga di pantry. Bukankah itu yang selalu kukehendaki?

Aku tepekur memikirkan tawa-tawa milik Joan, lantas Tom yang mencanduiku semalam. Apa yang baru saja kupikirkan?

“Omong kosong!” semburku.

“Terus saja tertawa, Zig. Kau hanya bisa tertawa atas perbuatan binalmu ketimbang berusaha. Kau tahu, apa yang kuharapkan selama ini?” Joan menghapus air matanya. “Aku berharap kau berubah. Kau melupakan mainan tololmu. Telecaster itu hanya semacam bualan. Kau bisa mencari pekerjaan yang lebih layak ketimbang menulis lagu, tidak ada orang yang ingin memainkan lagumu.”

“Tutupmu mulutmu!” aku mendorongnya mundur.

“Kau yang harusnya tutup mulut, Zig. Aku akan keluar malam ini.” Joan mengambil langkah maju.

Aku menarik napas panjang. Ia pasti dapat mencium bau Mayfair yang tertinggal. Aku enggan berdebat lebih lama. Di saat yang sama aku memikirkan apa yang terjadi dua minggu belakangan, apa yang kulakukan bersama Tom di studio; di toilet Arts Club; dan kini aku berada di sini, menatap Joan yang baru mengaku kalau ia mengandung bayi itu.

****

Grand Union di akhir pekan tak ubahnya ritual penting bagi Tom. Memarkir Mustang di Harrow Road. Membiarkan sedikit celah di tepi jendela. Aku sengaja memutar radio ke sinyal 87.7, tepat kala duo Whamp! melansirkan hit terbaik mereka; Russell menyembulkan kepala dari jok belakang.

Di pertemuan kami yang ketiga, aku mulai mempertanyakan bagaimana Tom bisa begitu kaya? Memberikan lembaran quid dengan cuma-cuma. Bertolak dari Amerika hingga terdampar di Pulau Britania. Dev bertaruh tentang formula brengsek yang ia sembunyikan di dasbor mobil. Malam turun begitu bisu. Tom duduk menyamping di belakang kemudi, menyelonjorkan kaki jenjangnya di pahaku. Mulanya Dev yang bercanda dengan pertanyaan itu.

Shit, Man.” Tom hanya mengulangi frasa Amerika-nya dengan begitu kental, tanpa embel-embel “mate” yang kami gunakan. “Kau tahu, ini bukan soal perkara mudah.”

“Tentu saja.”

“Tapi kami tahu, kau yang menyewa semua perkakas itu.”

Kami tak pernah lupa dengan cek lisut yang dikeluarkan dari saku belakang Tom di hari pertama bertandang ke St. Quentin Avenue. Jins sompek. Shirt bekas kemarin. Lumberjack tengik. Asap yang dilahap siang.

“Aku tak ingin kalian terlibat.” Ia tersenyum padaku, lantas kepada Dev; Russell malah sudah terpingkal saat ia membuka pengait dasbor depannya. Di depan lututku, kompartemen yang kukira hanya tempat menimbun lebih banyak Chiclet kegemarannya, dua bungkus tepung putih itu mengintip.

Dev paling girang. “Dua puluh quid, Mate,” ujarnya girang. Tangannya terkepal, sementara duduknya merosot ke belakang.

Aku mendengus kesal. Tidak berkomentar, alih-alih, melempar tatapan jauh ke pelipir jalan. Air beriak. Mengawasi kerlip lampu jalan yang terhalang Mulch.

Mulanya semua hanya introduksi awal. Bungkus putih itu tidak sendirian. Bersama pada handai; sendok, Clipper, dan jarum suntik. “Afrosidiak,” pungkas Tom, ia baru saja memberikan sampel cuma-cuma. Satu kali suntik toh tak masalah, tak ada efek samping, hanya kerasan sampai mati. Lebih baik dari seks, lagi pula siapa yang ingin bercinta dengan pria-pria brengsek seperti kami—kelas bawah dari kasta se-London raya.

Tom tak pernah memaksa, ia mengendus Heroin-nya sendiri sebelum kami bercinta, tertawa-tawa, bahkan semalam suntuk sementara aku memandang pagu untuk sebuah fantasi pribadi. Malam-malam kami terlalu elok. Rintihannya adalah candu. Tapi, dekapannya hanya semacam laporan tindak kriminal yang kian menjadi.

“Aku harus pergi ke Edinburgh besok.” Dan besoknya, lalu besoknya, nukilan brengsek.

Acara bertengkar kami menjadi seperti frekuensi curah hujan yang mengguyur London. Sebentar-sebentar ia membanting mic hanya lantaran sebuah jargon bodoh di teve; menonjok Russell lantaran tertawa kepalang nyaring.

Aku merelakan lengan untuk praktik pertama Dev malam itu. Untuk sebuah utopia yang tak berujung. Aku menyalakan Mayfair ketiga. Merokok memandang lama ke langit. Memikirkan Joan; mendengarkan ketuk repetitif sepatunya yang mengarah ke luar rumah; jeritan Creedy yang memilih untuk tinggal. Keparat, Joan! Brengsek!

Sotoh kondominium Russell bisa dibilang yang terbaik. Sendok-sendok baru saja berdenting. Clipper meletupkan semburan batu api. Desis itu baru saja disambut meriah oleh Russell.

Dua kali Tom menepuk lenganku setelah mengikat dengan tali pinggang. “Kau siap, Tom?” Aku menangkap cengiran di bibirnya. Lantas merasakan Heroin itu menendang nadi. Satu suntikan penuh. Pandanganku berkemedang. Perutku mual. Di tengah kesenjangan, Tom bukan hanya mengumbar kemaluannya, ia memang berkata yang sejujurnya.

.

Mateshit! Mate,” Russell berada di atas sana. Di atas pohon ara. Luar biasa lucu. Kau tahu apa yang ingin disampaikannya?

“Sudah pukul dua, Mate,” ujarnya.

Aku masih pengar. Separuh sadar. Dev celentang di sempadan kebanggannya, langkan tinggi di pucuk gunung. “O, Rus. Kau luar bisa menyebalkan.”

“Persetan. Ponselmu berbunyi sejak tadi.” Ia mengangsurkan benda itu padaku.

Aku melihat senarai miss-call di layar depan. Tiga kali. Tom.

“Tom,” dengusku geli.

“Ia ingin mobilnya kembali,” Russell menceletuk di belakang. Kulongokkan kepala sembari berjalan limbung. Mustang itu terparkir di pinggir trotoar.

Ponsel itu kembali berbunyi; aku mengangkatnya tanpa mengintip ke layar.

“Zig?” Tom terdengar begitu gembira. Tentu saja. Ia baru saja mengadakan trip bisnis ke Edinburgh, bukan? Kliennya baru membeli tepung-tepung eksilir itu. “Zig?”

“Tom?!”

Shit! Dev membiarkanmu mencobanya?”

“Mencoba apa?”

“Aku membutuhkan Mustang-ku. Westbourne Grove, lima belas menit lagi, katakan pada Russell.” Ia berkata cepat lantas memutuskan sambungan telepon.

Aku tersenyum kecil. Malam begitu dingin. Aku menggajur jaket dan lumberjack di sandaran kursi. Menarik satu batang Mayfair; mencuri Clipper dari tangan Dev.

“Russ, berikan kuncinya padaku.”

“Sepertinya bukan ide yang bagus, Zig.” Ia meletakkan botol Budweiser-nya dengan enggan. Dua kali dentingan. Kepalaku terasa nyaris pecah.

“O, persetan dengan Tom. Aku ingin kunci itu,” paksaku. Russell merogoh saku belakang jinsnya.

“Kau masih separuh sadar, Mate.”

“Aku baik-baik saja,” sebutku, mengambil anak-anak kunci itu dari tangannya.

Menuruni tangan kondo adalah perjalanan terpanjang sepanjang masa. Aku mulai memikirkan ilustrasi Bowie di kamar rekam. Memikirkan Tom[5] dalam perjalanan luar angkasa. Hitungan mundur. Tujuh beregresi menjadi enam, lantas lima, dan berujung pada angka satu. Aku hanya ingin lekas mendarat menjamah dunia baru. Tak ada pekik, tak ada kekecewaan, hanya ada pesta semalam suntuk.

Radio meraung di frekuensi AM. Siaran amatir yang tertangkap separuh berkelutuk. Aku mulai membuka dasbor. Mengaduk isinya, berharap menemukan kaset lotak seputar Germs atau hal semacamnya, alih-alih menemukan sepucuk Beretta.

Shit, Tom?!” aku tertawa tidak percaya. Sebuah senjata dengan magasin terisi penuh. Aku memutar-mutar jungurnya. Menggenggam popornya. Luar biasa. Aku bisa mengisar kepala Joan dengan benda itu.

Westbourne Grove atau entahlah. Aku melihat Tom yang berdiri dengan Marlboro di tangannya. Bersandar di dinding etalase gerai. Kanopi di atasnya reyot, becek terasa lengket di sol sepatu.

“Zig?!” Ia melebarkan tangan seolah tak percaya aku berada di hadapannya.

Aku melompat keluar mobil. Menutup pintu dengan satu bantingan terkeras yang pernah kudengar. Membawa Beretta dengan sebelah tangan. Tom berpakaian pelik malam itu, ia mengenakan kostum astronot putih dengan helm yang direngkuh di tangan kanan.

“Tom!” Aku tertawa terpingkal. “Apa yang kaulakukan dengan pakaian itu?” Ia pasti ingin mengajakku pergi. Pergi ke Mars. Tempat seharusnya aku tinggal.

“Zig?” Ia tergopoh-gopoh melangkah. “Letakkan benda itu sekarang juga.”

“Maksudmu ini?”

Shit!” Mata Tom serta-merta nyalang. “Berikan padaku.”

“Tidak! Aku ingin meminjamnya, Tom. Aku akan membunuh Joan. Keparat kau, Joan! Keparat kau!” jeritku lantang.

Tom membekapku.

“Lepaskan!”

“Berikan padaku, Zig.” Tangan kekarnya menarik lenganku. Menjatuhkannya hingga kami bergulat di atas limpasan.

“Tidak!”

“Lepaskan, Zig. Ini bukan dirimu.” Tom menampar pipiku. Menelisik tepat ke mata. Matanya begitu biru. Aku terdiam. Mata Joan yang selalu menuduhku.

Napasnya berdengih. Aku menggapai Beretta yang menunggu. “Hentikan, Zig. Kau pasti bercanda untuk—”

DAR!

Satu tarikan pelatuk; aku tertawa. Kau mati, Joan. Kau mati. Memandang jauh ke atas langit. Remang lampu jalan diisi dengan desir air dan lenguhan anjing dari loteng lantai dua. “Tom?” panggilku singkat, mengatur napas yang berdengih.

“Tom?” aku menyenggol pinggangnya. “Tom?!” lebih keras. Aku menoleh perlahan. Tom membeliak di sana. Kemejanya dirembesi darah. “Shit,” terlalu banyak umpatan yang bisa kulancarkan, aku menarik tubuh itu. Mengusap dahinya. “Tom? Aku minta maaf. Shit. Please, aku ingin kau buka mata sekarang.”

Aku memandang ke samping. Tak ada seorang pun di sana. Ini tak bisa berlangsung terlalu lama, para tetangga akan mulai memakai slipper, mengenakan kemerjas, dan melongok ke luar jendela.

Aku menyeret mayat itu ke sisi bumper. Mendobrak bagasi belakang. “Sorry, Tom. Aku—” tangisku pecah kala membopong tubuh itu masuk. Menjejalkan tangannya yang terurai. Darah menodai setiap jengkal jemariku. Aku menutup pintu dengan paksa. Membuka pintu kemudi lantas menginjak pedal gas sekencang-kencangnya. Konsol tengah berdecit nyaris patah.

Harus ke mana? Aku tak boleh terlihat. Aku mendengar tawa Creedy kala itu. Aku melihat mata abunya. Bercermin dengan perawakanku sekarang.

Tom agaknya tengah mengumpat tanpa sepengetahuanku, mendobrak barisan jok belakang sehingga tangan-tangan jenjangnya dapat mencekik leherku.

Aku memutuskan untuk berhenti. Decit ban merundung malam. Aku menilik ke belakang. Bagasi itu baru saja menjungkit ingin terbuka. Kaki-kakiku terseok mundur. “Maafkan aku, Tom!”

Aku berlari sekuat tenaga, terlalu takut untuk melirik kedua kalinya. Tom ada di sana. Baju astronotnya bernoda seperti kesumba.

“Jangan bunuh aku, Tom.” Satu per satu jemariku menggapai sembiran jembatan. “Tom!” aku berteriak sekali lagi. Mendengar telapak kaki itu mendekat; memanjat tembok lebih keras. Jungur sepatuku semakin tersudut.

“Tom!” pekikku sekuat tenaga. Aku membiarkan tangan-tangan itu menggapaiku. Melahapnya di antara gelap. Menghujat setiap pori-pori untuk ikut bernapas. Di dalam dingin dan gelap aku melihat Tom yang begitu tampan. Bagaimana setiap jengkal tubuhnya melekat di atas tubuhku. Senyumnya yang begitu menawan.

Kurasa aku memang sudah berada di Mars.

-fin.

 _____________________

[1] Salah seorang gitarisRadiohead
[2] Sebelum membentuk Foo Fighters, Dave Grohl merupakan drummer dari band grunge Nirvana
[3] Vokalis Radiohead
[4] Venus in Furs merupakan band fiksional yang didirkan oleh Brian Slade pada film Velvet Goldmine (1998)
[5] Berkaitan dengan lagu “Space Oddity” milik David Bowie (1969) yang bercerita tentang petualanga Mayor Tom keluar angkasa

A/N: Zig dan Tom adalah milik Bowie. Malam adalah milik para monyet. Mars adalah satu dari sekian banyak agenda adegan yang ingin saya tuntaskan.

SEBAGAIMANA MALAM HARUS DIPERLAKUKAN.

Perdebatan kami adalah seputar loteng atas. Tentang malam-malam yang tak pernah surut. Dan bagaimana seharusnya malam-malam itu diperlakukan. Menggerataki linoleum; meramban lapel; lantas menemukan tempat bibir untuk berlabuh.

Dinding kasar menggasak utar di balik baju. Manik itu berwarna biru. Di dalam kamar gelap, aku mengenal sesuatu. Orasi sembilan puluh. Kala di mana puntung tak kunjung layu. Pemantik terus berujar, pun percik batu.

Orasi sembilan puluh. Seseorang memagut bibirku. Menggoyangkan pinggul seolah-olah akulah sesuatu yang baru. Menelusup di antara pintu. Dan menemukan kejang di antara speaker saru.

Tak mudah keluar dari lingkar polkadot sembilan puluh. Sebagaimana Marlboro tercucuh, seseorang perlu teringat akan satu. Sembilan puluh adalah AM alih-alih FM yang berkemendang tangga empat puluh. Terlalu banyak malam yang terkunyah tanpa tahu. Melilit tungkai; menari rancak; tanpa dentam yang padu.

Bergelimang kata tanpa melodi. Tanpa ekspresi Ibanez dan gebung drum eksperimental Selway. Perdebatan kami bukan sekadar ruang di loteng atas. Tapi tentang monyet-monyet keparat yang bergayut di pagu. Tentang malam-malam yang terlupa, dan sebagaimana malam harus diperlakukan.

LUCKY STRIKE.

Waterloo bisa jadi pusat paguyuban bar payah, tapi lain hal dengan Notting Hill di tengah malam. Setidaknya Danny lebih cerdik dari Glen. Tak memusingkan budget; tak perlu pembayaran muka untuk membuka meja. Bergayut di stool konter pun tidak masalah. Pesta bujangku tidak seperti Glen tahun lalu. Bahkan bar striptease pilihannya hanya diwarnai oleh pamer belahan dada. Aku tak lapor pada Mel yang pasti, alih-alih, berbisik semalaman di telinga Danny. Ia belum menjadi pemabuk seperti sekarang.

Kami memasang taruhan padanya untuk menggauli gelas bir kelima. Sudah dua jam, Danny masih terperenyak pada busa stool reyot itu.  Sol sneakers Glen bahkan tak tahan untuk mengetuk rancak di tengah lantai dansa. Dentam yang tadinya diwarnai synthesizer Calvin Harris, sudah berubah kopong seperti tarian kemayu Houston dan Costner[1] di The Bodyguard.

Sekembalinya Glen dari lantai dansa, ia boleh tidak percaya. Alih-alih, aku melihat Danny bercumbu dengan gelas ketujuh. Tandas licin hingga tak menyisakan ruap sedap di bibir gelas. Draft beer itu raib tanpa kabar berita.

Danny mulai berteriak kesetanan, menggebrak meja, meminta putaran ulang untuk three shot Vermouth lima belas menit lalu. Bukan pilihan cerdik, Jerry si Bartender pun sampai mengernyit. Sorry, ejaku tanpa bersuara, lantas menenggaknya sembari menyipit. Glen tak sadar kalau Danny telah melewati lini ekstasenya.

“Benar, bukan?” Alisku berjengit, sementara Danny si Tolol mendaratkan pantat sloki di atas konter.

“O, tidak, Mike. Yang benar saja? Nyaris lima puluh quid?” Glen mulai merogoh-rogoh saku belakang, mengangkat bokongnya tinggi-tinggi, seolah ia berharap meninggalkan dompetnya di atas nakas.

“Perjanjian tetap saja perjanjian, Mate.” Aku tersenyum culas, taruhan malam itu aku yang menang; Glen membayar tagihan bir. Rasakan!

“Mana ponselku?! Mana?!” pekik Danny sekonyong-konyong. Glen yang pertama melirik, tentu saja kami kenal perangai itu.

“Tenang, Mate.” Aku menepuk punggung yang tertelungkup itu.

“Percaya atau tidak, ia pasti akan berteriak soal ponsel dan Zig.” Glen tergial, melemparkan lembaran quid.

“Nah, begitu lebih baik,” ujarku, tanpa peduli tentang Danny. Aku menyelomot Dunhill ketiga malam itu. “Hey! Dan! Ingin pulang sekarang?” sahutku, menarik lapel leather jacket-nya dan mengepit rokok itu dengan sebelah tangan.

Danny memberontak. “Zig?!” pekiknya berang. Kakinya menggerataki linoleum beberapa kali, terpicing-picing mencari sesuatu. Ia menemukan ponselku yang menganggur di tepi konter, lantas mulai menelepon semua orang, sama seperti malam di bulan September ia menelepon hotline pemadam kebakaran.

“Dan! Shit! Bisa tolong kembalikan benda itu?” Aku menyesap lekas-lekas Dunhill yang baru kusulut, mengangsurkan tangan, menarik-narik manset jaketnya. Glen tertawa, meninggalkanku menuju pintu keluar. Keparat.

“Halo? Halo?” tanya Danny, tak mengacuhkanku, setelah menekan salah satu kontak di daftar panggilan instan. Ia mengekori Glen. Berduyun-duyun menerobos barikade tubuh berkeringat di depan sana.

Danny tak benar-benar menelepon seseorang di tengah ingar-bingar bar, ‘kan?

“Hei, tunggu aku!” sergahku, secepat kilat mengenakan duffle coat yang tersampir di punggung kursi. Berlari membelah tubuh-tubuh jangkung yang silih senggol mengikuti ritme stereo.

.

Notting Hill, pukul satu, aku melirik jarum arloji sebelum mendengar dengih napas Glen yang tertahan. Danny mabuk berat. Dan ia mulai berputar-putar di tengah jalan. “Ini ulahmu, Mate,” Glen menyenggol bahuku yang bersandar di payphone.

“Jadi bagaimana?”

“Bagaimana apanya?” sebutku, pura-pura bodoh.

“Kau atau aku?” tanyanya. Aku melirik ke samping, Glen masih mengepulkan asap di sela napasnya, lantas menyelipkan kedua tangan ke ceruk saku.

“Ini juga ulahmu, asal kautahu.”

“Tapi setidaknya aku yang menyeretnya keluar dari kanal malam itu.” Glen benar, aku yang membuatnya melompat tempo hari. Setelah ia keranjingan berputar-putar dan mengeluarkan isi perut, Zig menjadi jargon kegemarannya hingga hari ini. Zig itu, Zig ini, Zig yang diteleponnya semalam suntuk. Aku menyembunyikan berita gila itu bulan lalu, Zig ditemukan tewas setelah melompat dari jembatan Grand Union.

“O, please. Jangan menyangkutpautkannya dengan perihal kanal bulan lalu,” kilahku.

“Kau yang mengenalkannya pada Zig.”

Zig? Entahlah. Aku tak ingin membahas orang itu.

“Hei, Dan!”

“Glen!” ia tertawa kegirangan, yang benar saja, apa yang lucu. Tarian itu terlalu banal untuk diingat; Danny bergerak maju mundur seperti gerakan salsa kuno, mengeriapi tiang lampu. “Zig! Ke mana kau?!” pekiknya kuat-kuat.

“O, sial! Glen bisakah kau membungkam mulut besarnya? Apa ia pikir kita sedang berada di Piccadilly Circus sampai-sampai membutuhkan suara sebesar itu di pukul satu?”

“Salahmu, Mate,” ia melirik sinis ke arahku. “Dan, pulanglah bersama Mike!”

“Tidak masalah! Sampai jumpa, Glen!” ia mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi.

“Sialan kau.”

“Untuk malam terakhir, Mike. Sarah takkan marah padamu hanya karena mengantarkan teman baikmu ke kondonya.”

Aku terdiam cukup lama. Memainkan Clipper dengan sebelah tangan. Dunhill begitu menggiurkan untuk disulut keempat kalinya malam itu. Derap kaki Glen mungkin terdengar menjauh, untuk sejurus aku dapat melihat siluet itu, Danny yang menari-nari di bawah tiang lampu. Seperti sumbu lurus, menatah hidung bangirnya dan rambut rancungnya.

“Hei, Dan! Kita harus pulang sekarang!” aku berlari ke arahnya; merangkul bahu tegap itu dari belakang.

.

 

Rokokku kala itu bukan Dunhill, sempat beranjak dari Marlboro ke Lucky Strike, Harry—si penjual komik di seberang Sylvia Young—pikir itu terlalu banci. Tapi, Lucky Strike mungkin sesial pertemuanku dengan Danny O’Donald. Ia yang memergokiku pertama kali merokok di pekarangan belakang sekolah. Pria itu bukan pendiam, mungkin ia mengenakan blazer necis beremblem merah, berikut dengan vest-nya yang senada. Aku jelas punya satu, yang selalu biarkan tersampir di kapstok loker. Dan Ms. Darcy yang biasanya meneriakiku lewat konter resepsionisnya di ruang adiministrasi. Peduli setan. Aku bahkan sudah khatam dengan kata-kata itu: “blazer merupakan salah satu atribut sekolah, Michael. Kau harus bangga memakainya.”

Danny jarang berkata-kata di pelajaran sastra Mrs. Diggle, kendati kami duduk berdekatan. Kami dua orang yang berbeda. Berani bertaruh, Glen pasti langsung tertawa saat mengingat polahku yang dulu. Tetapi, pertemuanku dengan Danny yang sesungguhnya adalah melalui sebuah persaingan. Aku si Manager Jenius dan The Renegade yang beraliran nyaris black metal kontra Danny yang baru saja menandatangani kontrak, yang ia anggap keren, dengan sebuah band britpop yang bahkan aku tak dapat mengingat namanya. Lucu? Tentu saja. Juni itu aku bertaruh padanya, The Renegade akan mendapatkan tempat di Wireless Festival[2].

Band-mu payah,” ia kepalang membisiki kalimat takaburnya malam itu. Danny lagi-lagi memergokiku duduk di bench Hyde Park. Menyulut Lucky Strike yang coba kusembunyikan di balik jaket.

“Seperti band-mu keren saja.” Alisku menjungkit, tak mau kalah.

Band-ku memang keren,” sebutnya di sela-sela seruputan Mountain Dew. “Kami sudah menandatangani kontrak dengan Polydor.”

Shit. Aku menyumpahi dirinya kala itu dan memanggilnya dengan si Megalomania.

“Bagaimana dengan, Mate?” tanyanya, “Apa ada rokok di balik jaket itu?”

“Tidak,” sentakku. “Maksudku, tidak ada apa-apa. Kami baik-baik saja, Wireless Festival pasti akan menjadi milik kami.”

“Lucky Strike, huh?” Danny tak benar-benar mendengarkan sesumbarku.

“Tunggu, kau mencoba membelokkan pembicaraan?” Aku beranjak ketakutan. O, cukup dengan Harry, tidak untuk kedua kali seseorang mengataiku banci.

“Aku suka mencuri Lucky Strike milik Mom.”

“Mereka pikir rokok itu buat perempuan.”

“Tapi kau lebih perempuan dari perempuan.” Tawanya meledak.

“Maksudmu?”

“Kau menyulut rokok perempuan dan menyembunyikannya di balik jaketmu. Bukankah itu sangat perempuan?”

Tidak membantu. Kata-katanya bahkan membuatku berhenti menyesap hingga ke filter. Entah mengapa lidahku seperti getas dengan sendirinya. Tidak ada sindiran, tidak ada telinga pura-pura tuli yang kerap disinggung Ms. Darcy.

Band-mu payah, Mike. Tapi kau tidak sepayah itu.”

“Aku tidak payah. Aku manager yang luar biasa jenius,” pembelaan terakhir terasa pelik, “aku, aku bisa saja membantu band-mu di lain waktu.”

Ia terbahak. Entah apa yang dianggapnya lucu. Kaki jangkungnya mulai bersilang di atas sebelah kaki lainnya. Kain denim yang membungkus tungkainya membuatnya nampak seperti seorang vokalis, posisi yang sungguh ditekuninya semenjak tingkat satu. Diam-diam aku memperhatikan Danny, lewat kisi-kisi jendela ruang latihan, mengintip kagum, sekaligus benci dengan sikap agulnya.

“Aku tak perlu dirimu sebagai manager, Mike.”

“Entahlah. Siapa tahu kau perlu?” Kedua bahuku terlanjur mengedik, sembari menggelengkan kepala sesekali. Momen ini terasa pilon di benakku. Mengapa aku terjebak dengan omongan Danny O’Donland. Seantero sekolah tahu, ia hanya akan menyemburkan bisa itu dari mulutnya.

“Aku perlu kau sebagai seorang gitaris.”

Sompral, umpatku dalam hati. Tak terhitung lagi jumlah kerutan di dahiku malam itu. Yang pasti aku yang terbahak paling keras. Lebih nyaring dari tawa Danny sebelumnya.

.

 

Sengit tembakau baru saja bercampur dengan tengik Vermouth yang menggelontori aspal. Danny memuntahkan isi perutnya dua kali. Ia pengar bukan main sekarang. Berdiri limbung, sembari berpegangan sebelah tangan. “Mike, lihat itu!” pekiknya kegirangan. Aku tersenyum sekaligus jijik. Demi janggut Merlin, seseorang mencoba untuk mempertontonkan sisa menu makan malamnya kepadaku.

“Hentikan, Dan.” Aku menjenggut sembiran lapelnya, menyerahkan sebotol air mineral. “Minum ini. Aku harap pengarnya cepat hilang.”

Thanks.” Ia mengelap noda di sudut bibir dengan punggung tangan. “Kau ingat tempat ini?” Matanya terlihat sayu. Tapi, aku tidak pernah bisa melupakan trotoar rompal itu. Bukan Hyde Park atau Kensington, tempat di mana bangku taman yang kerap ia jajah di sampingku. Aku masih melihat sosok Danny O’Donald yang gemilang di ujung jalan, tepat di bawah sebuah kanopi mini-market 24 jam. Pertama kalinya, Danny menunjukkan identitas palsunya kepada sang kasir, gadis berkuncir dua yang tidak lebih pintar seekor keledai. Tidak ada The Renegade dan Mike, aku kalah telak. Wireless Festival tidak mencantumkan The Renegade ke dalam list pendatang barunya, pun dengan band britpop yang Danny banggakan.

Alih-alih, untuk kemenangan band baru kami—The Grits ‘bubur jagung’. Nama konyol itu ciptaan Danny, saat ia melihat Glen yang menyembul di pintu ruang audisi dan memanggilnya si Kepala Jagung.

“Kau tak benar-benar ingin mengganti botol itu dengan Carlsberg, ‘kan?” kelakarku. Danny masih terbungkuk-bungkuk, memegangi perut. Tawanya lebar. Asap dengan begitu cepat membubung naik. Tersembur dari ceruk bibirnya.

“Kau mendoakanku agar cepat mati ya?”

“Hanya bercanda, Mate,” keluhku, mengembuskan lebih banyak asap.

Danny tak balas terkekeh. Ia menatapku dalam-dalam. “Aku serius, Mike.” Ia merangkulku dengan sebelah tangan, merebut Dunhill yang terkepit di jemariku, menyesapnya dalam-dalam, lantas mehunjamkannya ke bawah.

“Tidak ada yang menginginkan kematianmu, Dan,” aku berkata dengan pelan. Kakiku nyaris terjengkang, menyamakan pijakan dengan langkah linglungnya. Jantungku berdegup tak keruan. Aku tahu kanal yang menunggu beberapa meter di depan kami. Tapi, tidak sampai kaki-kaki jenjang Danny berlari.

“Dan! Tunggu! Keparat! Hei!” umpatan itu meluncur beruntun. Ia lebih cepat dari perkiraanku. Melompat lincah ke balik birai.

“Dan? Okay. Aku tak ingin mengulangi insiden itu. Mengerti? Cukup dengan Zig. Cukup dengan omong kosongnya.”

Danny menolak berkata-kata. Ia menjadi jenjam seketika. Menatap kuyu gelombang air di tengah kanal. Tiang lampu menyapu separuh wajahnya. Sejurus yang kutangkap hanyalah Danny O’Donald di kelas sastra. Seseorang yang kucuri pandang di tengah penjelasan Mrs. Diggle.

“Dan?”

Napasnya memburu. Kepulan asap begitu cepat memburai. Aku merapatkan celah jaket. “Ini bodoh.”

“Ziiiig!” pekiknya di tengah sana. “Ziiiig!” ia mengulangi nama itu nyaring-nyaring. Suara anjing serta-merta menyalak di penghujung Harrow Road.

Aku mendengus. “Dan, aku harus mengantarmu pulang sekarang.”

“Tidak sampai kau berdiri di sampingku, Mike.” Bibirnya menjungkit naik.

“Tidak. Itu konyol.”

“Konyol kalau kau membiarkan sahabatmu melompat seorang diri.”

“Tidak ada acara melompat ke dalam kanal untuk kedua kali.”

Danny menarik manset lenganku dengan paksa. “Dan?!” Gigiku menggertak kesal.

“Sekali ini saja, Mike. Kau—” ia tak melanjutkan kata-kata itu, hanya saja aku tahu, apa yang tertangguh di pelipir lidahnya. Buru-buru aku menaiki birai besi itu, berdiri dengan hati-hati, menapaki sembiran jembatan.

“Ini sinting,” singgungku, sembari memutar badan.

“Ini menyenangkan!” pekik Danny. Ia duduk di atas birai dengan begitu santai. Aku tak menanggapi Danny. Ada kala aku begitu iri padanya. Kala ia membaca buku Kerouac[3] di perpustakaan sekolah, caranya menyilangkan kaki. Ia bahkan melakukan tabiat itu di atas birai jembatan. Danny yang kukenal selalu saja yang penuh dengan takabur dan percaya diri.

“Kau harus mencoba duduk di atas sini, Mike.”

Aku duduk di sampingnya. Ini buang-buang waktu. Untuk mengulur sesuatu yang seharusnya kuakhiri dengan lekas.

“Aku hanya berharap waktu berhenti kala ini dan melompat bersamamu ke dalam sana.” Ia memandangku lebih lama, tersenyum pilu. “Tidak untuk menyusul Zig.” Tangan dinginnya merangsek ke balik manset jaketku. Menggenggam buku-buku jari yang nyaris membeku.

“Dan …” aku tak sanggup berkata-kata. “Dan …”

Ia melepaskan sebelah tanganku dan mulai memanjat hingga ke birai tertinggi yang tadi didudukinya. “Dan! Hentikan.” Lekas-lekas aku menarik jemarinya. “Duduk. Shit! Aku tidak berseloroh.”

“Satu. Dua.” Ia menahan napas; aku menarik jemarinya sekuat tenaga. “Tiga!” Di kala itu aku menutup mata. Danny mungkin saja sinting. Tapi ia tak pernah menutup mata; matanya nyalang. Berpendar kala ia memegang mic andalannya. Kala ia mengejekku si Banci. Dan kala ia melompat demi nama Zig.

Bunyi itu bukan kecipak air, alih-alih bedebum nyaring dibarengi rasa nyeri. Bokongku baru saja mencium tanah. Danny mengikik seorang diri. Ia membiarkan tubuhnya terjengkang.

“Kau baik-baik saja, Mike?” tanyanya, menemukan diriku yang tengah disorientasi. Dengan pandangan tersipit-sipit, aku tahu, kepalaku berada di pangkuannya. Ia terbahak nyaring, sesekali tersedak liur. Tapi, aku masih geming, memerhatikan maniknya yang berwarna cokelat. Secokelat tombol latte, yang ia tekan di vending machine, senja itu.

.

 
Merah berganti biru. Di bulan dua belas kami melempar toga itu tinggi-tinggi ke angkasa. Danny mendaftar ke Berklee; aku ke UCL; Glen menembus jajaran orang-orang tolol sedunia dan membuat gebrakan di telundakan tangga Cambridge. Ia yakin, kelak menjadi seorang seniman sekelas Freddie Mercury dan mencuri perhatian Melanie McGreggor, siswi pindahan dari Massachusetts.

Kami tak pernah membicarakan itu sebelumnya. Siapa dengan siapa? Seperti gunjingan di Sylvia Young dulu. Aku yang paling diam mengenai itu. O, tebak saja siapa yang ingin bersama denganku, yang sudah menjadi langganan tetap ruang detensi. Lagi pula Danny selalu masyuk dengan piano sengaunya; mengejekku dengan sebuatan Banci yang tak pernah lekang sedari tingkat satu—alih-alih, merampok Lucky Strike persediaanku. Dalam seminggu kami tak lagi saling jumpa di tengah petang, menduduki tempat peraduan di pinggir Kensington. Area itu menjadi episode kopong di akhir minggu. Hingga pertama kalinya seorang Glen, yang berkepala jagung itu, benar-benar membawa Mel, terperenyak di sisinya.

Aku nyaris menelan puntung rokok terakhirku; Danny terjengkang kala duduk di pelipir bench.

“Hai, semua, aku Mel,” ucapnya, mengulurkan tangan ke arahku. Mel bermata biru, dengan senyum rikuh yang tersembul di pematang bibir. Gaya berpakaiannya sangat bohemian. Aku ingat suara lembutnya, tapi entah apa yang menyihir Danny untuk bersikap acuh tak acuh; mengangkat separuh kakinya dan membelakangi kami.

“Kau tidak kesepian di sana, Dan?” singgung Glen sesekali, tapi nampaknya, ia kepalang khuyusuk dengan buntalan “On The Road” yang dipinjamnya dari perpustakaan kampus.

Bibirku gatal. Setiap kali ia memandang novel itu, sesuatu terbersit di otakku. Danny mungkin terobsesi dengan Kerouac. Alih-alih, tak mungkin polahnya bersandi Dean Moriarty[4]. Tak ada kanabis di saku jaketnya, aku tak pernah menemukan kontak seorang perempuan di ponselnya, kecuali Amy, pemilik kondo sewaannya yang nyinyir mengenai pembayaran bulanan.

Danny seolah tak punya alasan. Ia memilih raib, membuatku terjaga dan bertanya mengenai hal-hal banal mengenai dirinya. Glen pernah bertanya padaku, apa ada yang salah dengan Mel sampai-sampai ia menyumpahinya dalam diam?

Dan tebak, Danny menjawab pertanyaan itu sambil buang kencing. Membiarkan kecipak air yang mencium dasar jamban menggema di telingaku.

“Kau tahu, kencing, Mike?” Ia terkekeh kecil; aku dapat mencium bau Nicorette bercampur tajam busa draft beer yang baru disesapnya. “Mereka hanya memenuhi kantung kemihku.”

“Hentikan omong kosongmu, Dan. Kau mabuk.”

“Aku baik-baik saja.” Tawanya meletup-letup, menutup ritsleting dengan sebelah tangan. Decakan Nicorette di lidahnya membuatku gila.

“Dan!” pekikku, mendorong tubuhnya, terjajar tegel kamar mandi. Napas Danny terkesiap sejurus; ia mendengus geli.

“Kau ingin apa, Mike? Ingin marah padaku?”

Sebaliknya, napasku masih memburu. Entah apa yang kutagih kala itu, sembilu terlanjur tertancap di dadanya, dan cengkeraman tanganku sekadar kopong belaka.

“Biarkan aku sendiri. Seperti yang seharusnya, bukan?” ia menekur menatap limpasan air di bawah kaki.

“Tidak, Dan.”

“Tidak?!” Giginya tersembul separuh, “Jadi kau ingin menemaniku?” Ia mendekatkan wajah itu lekat-lekat. Aku bisa melihat pori-pori di sekitar cambangnya. Mandibula itu tertatah sempurna. Cengkeramanku mengendur. Hanya ada desah napas kami berdua dan tiba-tiba saja Danny melahap bibirku. Mengangkat jemarinya yang rikuh, ia menautkannya satu per satu; mengeriapi jemariku.

Aku tak pernah bertanya kepada Danny tentang peristiwa itu, kami bercumbu, meramaikan bilik tengah toilet bar langganannya. Ia melucuti bajuku, sedang aku buru-buru merundung miliknya yang berada di bawah sana. Lucky Strike tak lagi kusesap sendiri, Danny mengunjungiku setiap hari, bench Kensington selalu membuatnya menulis lebih banyak lirik tentang kanabis dan afrodisiak.

Tak seorang pun tahu rahasia itu. Kukunci rapat-rapat lidahku dengan lidah Dan. Sebagaimana lidahnya bermain, Danny selalu se-hippie biasanya, ia menjeritkan kemaluannya keras-keras.

“Tak salah untuk menjadi berbeda, Mike,” sebut Danny, ia masih berada di atasku siang ke-seratus-sekian-sejak-kami-bersama; menggauli naik-turun dengan ritme yang ditirunya dari Frankly, Mr. Shankly milik The Smiths, membuatku tertawa dengan lawasnya. Kami menutup kelir rapat-rapat. Membungkam bibir dengan umpatan-umpatan pilon yang dibisikkan. Danny tak ingin tetangganya mengeluh lantaran suara derit ranjang berkepanjangan.

“Tutup mulutmu, Dan.”

“Seolah aku tak punya hak untuk bilang begitu? Ganti rokokmu dengan yang lain, Mike. Pal Mal, mungkin? Lucky Strike membuatmu menjadi banci sejati.”

Aku membersut, mendorong tubuhnya jauh-jauh.

“Hei!” pekiknya kesal, mengenakkan shirt putihnya yang bertemperasan di lantai. Kamar Danny porak-poranda. Aku masih terbaring dengan mata memejam sejurus, memandang para-para. Ini gila, aku mencoba memantrai diri berulang kali.

“Kau harus bangga untuk berbeda, Mike.”

“Simpan ucapan itu untuk dirimu, Dan,” tandasku, kesal.

“Aku berani mengatakannya pada dunia. Apa aku perlu membuka jendela dan merutuki tentang perbedaan itu sekarang?” Bibirnya masih menganga—aku tahu, Danny pasti akan segera melakukan itu, ia baru saja melandaskan langkah pertama menuju jendela samping; lekas-lekas aku menariknya.

“Sama sekali tidak lucu, Dan!”

“Kaukira aku hanya berpura-pura? Buka matamu—”

“—tak bisakah kau berhenti bicara? Aku benci dengan usulan itu. Aku baik-baik saja denganmu,” ucapku pelan; Danny mau tak mau menarik tubuhku ke dalam peluknya, menindis pucuk kepala dengan dagunya.

“Maafkan aku,” ia mengelus pipiku beberapa kali. Kata “maaf” itu bukan untuk adu mulut barusan. Danny tak pernah bisa bersamaku, ia milik Zig, milik Miguel—yang baru ditemuinya pekan kemarin di Soho, juga milik semua orang. “Aku ingin kau menemukan kebebasan untuk berbicara.”

Aku melihat mata teduh Danny, ia ingin aku percaya, bahwa status itu tak semenakutkan yang kubayangkan. Tapi, jatungku berdegup. Dengan napas yang tersengal satu-satu, aku melempar tubuhku ke atas kasur begitu saja, tanpa memakai celana, hanya dengan satu raupan dan clipper di tangan satunya; aku mencucuh Lucky Strike kelima. Asbak sudah meruap. Tak ada kesempatan untuk mengurai napas, hawa yang bisa kuendus sekadar nikotin dan keringat.

“Kau berbicara tentang kebebasan, Dan, sedang aku berbicara tentang kau yang tak punya komitmen.”

“Kau tak bisa terus-terusan menyimpan semua itu di balik lidahmu.” Ia mengintip ke balik kelir, tak mengacuhkan kata-kataku.

“Dan kau tak bisa selamanya mengumbar batang pelirmu kepada semua orang!”

Mata Danny nyalang. Biar kubuktikan padanya, aku bukan pengecut, Lucky Strike mungkin mengutukku untuk menjadi banci tapi tidak di hadapannya. Tungkai-tungkai itu berderap nyaring, seolah hendak meruntuhkan linoleum. Danny benar-benar berang; aku menyesal telah mengumpat nyaring.

“Apa yang ingin kau lakukan?” aku berkata lekas, bermaksud menyembunyikan getaran itu.

“Diam!” Danny mendorong tubuhku; aku terjengkang, abu rokok berhambur, Lucky Strike terpelecat begitu saja, bergulir di atas bantal. Ia menaiki punggungku.

“Dan!”

Danny tak pernah menjawab, ia menggauliku dengan keras untuk terakhir kalinya. Dengan air mata yang tercucur; mukus yang mengalir; kucengkeram sarung bantalnya dengan buku jemari. The Grits sekadar legenda Kensington semenjak itu. Danny menolak bicara, pun diriku yang selalu menghindar. Glen mempertanyakan stage dan showcase kami yang dicanangkan setelah merampungi album pertama. Tak ada kontrak dengan Polydor. Semua itu sekadar elegi gila yang kukubur tanpa seorang pun tahu.

 

.

Danny masih berusaha menyeret langkah beratnya ke telundakan bawah. Aku di sampingnya, memegang lengan berbalut jaket itu dengan kedua tangan. “Hati-hati,” semburku, gusar. Danny memang gemar mencari sensasi, lupa kalau ia baru saja mempertontonkan sisa menu makan malamnya padaku.

Lingkaran merah bermaktub “underground” baru kami lewati. Tinggal satu langkah komplementer, Danny terpincang-pincang mengekoriku memasuki gerbong. Jajaran kursi yang menyamping lengang di pukul dua. Tak terasa jalan-jalan tolol barusan menghabiskan satu jam untuk sampai ke rute yang tepat.

“Hei, Dan. Bagaimana kalau kau duduk di sini?” tanyaku, menuntunya menghampiri banjaran bangku penumpang.

Danny tidak menyahut. Yang ia tahu hanya terpenyak, jatuh menyamping, dan pahaku buru-buru menahan kepalanya agar tak terantuk permukaan bangku.

Geez,” aku mendengus. Hanya ada kami berdua di sana, layanan underground berlayar 24 jam tanpa mengangkut penumpang lain. Ditemani sambungan kerai kuning yang meringking. Ada melihat refleksiku di jendela depan, melewati plang Stasiun Holborn di dinding bata.

Aku menatap wajah Danny, ia mengerling ke arahku dengan tatapan sayu. “Hei, mate. Kita bertemu lagi.”

“Iya, tentu saja,” ujarku, menyapu pelipisnya yang dibanjiri peluh. Entah apa yang terjadi padaku, seolah etape lima tahun kala kami tak saling sapa, lesap begitu saja. Danny berhenti bicara sejurus. Ia tersenyum padaku, mengingatkanku akan senyumnya yang terdahulu, bagaimana siluetnya yang tegas tertimpa cahaya di balik kelir.

“Terima kasih telah mengantarku pulang.”

Aku mencium dahinya sekali. “Sama-sama.”

“Maafkan aku, Mike. Kau yang pertama membuatku mengucapkan itu dulu.”

Tatapanku terlempar ke depan. Aku takut mengaku, di malam bujangku, aku terlalu gamang untuk berbicara banyak dengan Danny. Duduk di kursi yang seyogianya kududuki bersama Sarah, calon istriku, dengan kepala silih tindis di bahu. Bukan dengan seorang Danny O’Donald yang mati-matian kulupakan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Dan.”

Aku mengulum ludah, memaksakan senyum. Seolah tak ada yang luput dari benak Danny, ia mengingat semuanya; musim bisu setelah kami bercinta sepanjang senja. Ia tak mengatakan apapun padaku, aku pun raib begitu saja.

Ia mengenggam tanganku.

“Jangan berbohong, Mike. Kau bodoh soal itu.”

Danny benar. Di hadapannya, aku selalu ditelanjangi. Sebagaimana beranimonya diriku mencumbui Sarah, bayangan Danny selalu berkelebat di dalam sana. Di sebuah petak yang kupikir, aku sudah melupakannya, tapi nyatanya, Mike si Banci memang selamanya seorang pecundang.

“Tapi, setidaknya kau menemukan seseorang yang selalu melihat kepintaranmu, kan?” Danny menyambung perkataannya dengan santai.

“Jangan berkata yang tidak-tidak, Dan. Kau mabuk berat.”

“Aku tidak bohong, Mike. Kau beruntung mendapatkan Sarah.” Danny tak pernah tercekat mengatakan nama itu, tidak seperti saat aku memergokinya bersama Zig dan memperkenalkan namaku pada pemuda itu.

Danny merogoh saku belakangnya dengan susah payah. Bungkus itu lisut parah. Putih dengan garis merah.

“Ingin satu?” ia mengangsurkannya padaku.

“Kupikir, kita tak boleh merokok di dalam gerbong.” Aku mencoba bersandar, menangapi ide sintingnya.

“Peduli setan, Banci. Pukul dua dan kaupikir polisi patroli akan memergoki kita di sini?”

Aku meringis. Menarik satu batang dari bungkus Lucky Strike itu.

“Untuk para banci!” pekik Danny. Aku membantunya menyelomoti puntung pertama dengan batu api, lantas mencucuh punyaku sendiri. “Selamat menempuh hidup baru, Mike!”

Danny menyemburkan asap banyak-banyak dan mengecup bibirku.

_______________________________

[1] Whitney Houston dan Kevin Costner, dua pemeran utama dalam film The Bodyguard
[2] sebuah festival musik anual yang digelar di London; 2005-2012 Wireless Festival digelar di Hyde Park, London
[3] John Kerouac; seorang novelis asal Amerika yang terkenal dengan tulisannya, On The Road. Kerouac merupakan salah satu pendiri Beat Generation. Tulisannya banyak membahas tentang perjalanan, unsure hippie dan narkotika.
[4] salah satu karakter utama dalam On The Road (Jack Kerouac, 1957) yang menjalani gaya hidup hippie, mencintai kanabis dan seks.

A/N: Diawali dengan The Script, pun ditutup dengan The Script. Mungkin ada yang bertanya, kenapa Lucky Strike? Lucky Strike adalah sebuah celah yang saya pelajari dengan target pasar yang rata-rata seorang wanita. Tapi, Lucky Strike tak mengajari kita agar menjadi banci. Diawali dengan Danny, saya mencoba mengambil namanya dan mengubah sosok tersebut menjadi seorang Kurt dari Nirvana. Mengompliasinya dengan Ziggy Stardust milik Bowie. Memang terdengar mustahil. Kendati demikian, untuk terakhir kalinya, saya meyakinkan sosok Sal dan Dean dari On The Road untuk ikut terlibat di dalamnya. Lagi-lagi semua ini karena The Script.

ABI.

Aku yang mencintainya terlebih dulu. Seperti ia mencintai kretek yang terkepit di antara dua jemari. Berharap mencicipi bibirnya, bagai ia memagut hilirnya dengan desah napas tertahan. Menari rancak di hadapan kedua matanya, laksana untaian asap yang berdesir.

Malam itu terlalu gelap untuk berbincang. Segelap kulitnya yang sawo matang. Kami duduk bersisian. Memperhatikan gelas-gelas kaca yang berendeng. Lucu. Menertawakan diri. Bertelekan siku sembari melempar senyum.

Gigi itu sudah kuperhatikan barang semenit lalu. Putih tak bersilap duka, menabrak cangkir kopi ketiga alih-alih bibir botol kaca. Kemeja biru khalis tanpa noda. Namanya Abi. A sebagai akronim Arjuna, lantas otot-otot yang menonjol di lengan tembaga itu adalah milik Bima. Abi baru saja memukauku dengan caranya; dengan cerkas matanya, pun ekor bibirnya yang terjenggut cuar. Ia berbeda. Dari sudut mata dan kulit yang mencoraki kesepuluh jemarinya. Ada yang membuat giginya nampak kontras, tak seperti diriku.

Aku mungkin mencintainya terlebih dulu; ia kepalang membenci diriku. Jejap pada cara dudukku yang menyilangkan separuh kaki. Mengetup-ngetup lantai linoleum dengan nada-nada sumbang menandak. Sinkopasi itu bukan milik Adhitia Sofyan, pun gitar akustiknya; nada itu milikku. Biar saja sumbang, toh Abi meliriknya, ‘kan?

Ia jatuh hati pada kakiku. Aku yakin itu. Tetapi, ia benci diriku yang bermata sipit. Berkulit kuning langsat. Dan berbau hiu alih-alih parfum kelas satu.

Sudah tiga kali aku membasuh diri, bau itu tak kunjung raib. Dari ujung helai rema, memang aku tak dapat menipu, karena aku sudah sebegitu dibenci oleh dirinya. Tapi, aku kembali pada malam saat kami menatap satu sama lain, berkontemplasi mengenai identitas dan harkat; sepatu hingga tudung kepala; riasan atau pun gamis.

Aku akan selalu menjadi yang mencintainya terlebih dulu. Memadu perbedaan. Pun menyadari kesamaan. Bahwa kami sama-sama mencintai, kendati silih membenci.