GERIMIS YANG MERINGIS.  

“Aku gak tau kalau kamu ngerokok,” katanya, diikuti derik pintu. Masih menyisakan derai tawa dari dalam ruangan; suara stereo dengan ringkingan tembang kasmaran Nidji ikut merembes keluar. Aku baru saja akan membuangnya. Lekas-lekas. Lebih lekas lebih baik. Tiga sesap pun tak sempat tandas. Batang baru dicucuh dua menit lalu. Aku terbatuk keras. Asap bertemperasan ke mana-mana; tangannya lekas merebut batang hitam itu dari jemariku.

“Si—” aku akan mengumpat dan menonjoknya kalau perlu. –alan? semburku dalam hati. “Mas Ra—”

Aku tak sempat melanjutkan perkataan bodoh itu lantaran melihat alisnya yang dijinjing naik. Bibirnya menyesap rokokku. Mencuarkan asap pertama lewat cuping hidung. “Sudah lama rasanya,” ia mendengus. “Aku berhenti di hari Minggu, tiga tahun lalu. Ingat?”

“Er …” perkataan itu kupungkas dengan sebuah tawa. Kekeh muskil tentang hal-hal yang seyogianya tak perlu kutemui. Ia mengangsurkan rokok itu; aku menyesapnya sedikit, menyemburkannya dengan leret terpendek seperti seorang amatir. Mengapa ia berada di sini sih?

“Aku gak tau kalau kamu ngerokok.” Masih pertanyaan yang sama. Ia tidak bosan untuk bualan retoris macam itu. Kuperhatikan pernampilannya yang separuh kusut. Sepatunya yang mengetuk aspal pelataran trotoar; bersihadap denganku.

“Saya juga gak tau kalau Mas pernah ngerokok,” sahutku, tersenyum gemas.

“Raka,” ia coba membetulkan. Tentu saja aku tahu. Raka. Rakata. Nama lengkap yang coba ia tutup-tutupi di kartu nama. Dini, yang dulu menaruh rasa pada Raka, pernah memberitahuku, mencukil banyak-banyak informasi tentangnya, kala kerja profesi dulu. Sayang, terakhir kali kujumpai namanya, frasa tiga kata itu sudah terembos dengan efek perak di kartu undangan.

“I-iya, Raka.” Aku menilik ke arahnya. Memasukkan sebelah tangan di saku jaket. Berjungkat-jungkit dengan tumit. Menikmati langit Bilangan Kemang yang kian meredup. Desir angin yang meletup-letup.

“Kamu sudah keburu menghilang sih,” ujarnya; aku menjentikkan abu di sisi beranda depan.

“Kontrak kerja saya habis. Tahu ‘kan? Hanya mahasiswa magang.” Bara di jungur puntung bergemeritik kecil, aku memberanikan diri meniliknya dari samping.

“Egi mencari kamu sejak tahun lalu. Katanya kamu menghindar.”

Ia masih berhubungan dengan Egi. Tentu saja. Proyek teater di Singapura. “Enggak kok. Aku hanya pindah kerja,” dalihku.

Raka tidak memperpanjang debat kusir kami. Sementara aku menyesap lebih banyak asap. Sempat kuangsurkan kotak Djarum itu padanya; rasa teh celup, barangkali ia mau. Meneror kata-kata insyafnya dengan konspirasi asap terbaru. Ia meringis. “Kamu kerja di mana sekarang?”

“Di Jakarta.”

Raka tertawa. “Kalau itu sih, kita juga lagi di Jakarta, Rin.”

Aku tercekat. Kenapa harus Rin? Aku enggan dipanggil begitu lagi. “Panglima Polim,” ujarku cepat. Seolah-olah enggan diinterogasi. Puntung itu sudah nyaris habis. Aku membuangnya; melindasnya dengan jungur sepatu. Tak lagi menggunakan Chuck Taylor usang kebanggaanku yang kerap menerjang limpas hujan dulu. Lantas, mengecek angka di arloji. Jarum merujuk ke angka tujuh.

“Saya pulang dulu ya.” Aku baru saja merogoh tas duffle; mengorek ke samping sampai menemukan payung kecil.

“Apa kamu selalu begini?” sambarnya sekonyong-konyong. Ia menusir pergelangan tanganku.

“Er?” Tatapan kami bersirobok; aku dengan raut bingung; ia dengan senyum 1-0 itu.

“Dulu juga begitu.” Suaranya terdengar mendekat.

“Begitu bagaimana?” Dahiku mengerut.

“Kamu selalu menghindar, Rin. Aku pengin nganter kamu pulang kali ini.”

Bukan opsi terbaik. Aku tak jadi menarik tuas payung. Hanya gaya canggung mirip orang yang tak jadi terbang. Ingin terenyak, tak ada kursi di belakang; memilih jongkok, rokku pasti akan tesingkap naik. Duh.

“Tapi, Mas—”

“Raka,” koreksinya entah untuk yang keberapa kali.

“—iya, Mas Raka. Saya gak apa-apa kok jalan sedikit ke sana, sebentar lagi saya dijemput.” Ia menahan tanganku; sementara kaki-kaki itu ingin lekas meninggalkan beranda resto.

“Kamu masih dijemput—”

“Dina!” pekik seorang dari sisi samping; Raka yang terlebih dulu menoleh. “Kami pulang duluan ya!” Rika, rekan kerjaku, berpamitan sambil melambai kegirangan. Rambut pink manyalanya disimbur cahaya lampu. Ia tidak sendirian.

“Eh, pacar kamu ya?!” Dan celetukan Biyanti pun sukses membuat Raka terpingkal. Tangannya pindah ke belakang kepala. Bingung. Entahlah. Ini posisi terburuk sepanjang masa.

“Buk—” aku berusaha berkilah.

Keduanya silih bisik. Gunjang-gunjing di belakang. Luar biasa. Naga-naganya besok semua orang akan tahu hal memalukan itu.

Bye!” sahut keduanya. Tanganku melambai kecewa.

Shit!

“Kamu ditinggal deh,” sergah Raka. Aku melirik ke arah bawah, menelusuri pantalonnya yang terseterika rapi. Mengerling ke atas.

“Gak apa-apa kok, Mas. Saya bisa pulang sendiri. Indekos saya deket. Cuma beberapa menit kalau naik taksi.”

“Ini sudah malam, Rin.” Aku pernah kenal nada itu, kala ia menutup presentasinya dulu. Raka enggan dibantah.

“Tapi—”

Ia menarik tanganku begitu saja. Mengambil payung mungil itu untuk dibagi berdua. Langkah-langkah rikuh. Aku menyeret flatshoes-ku dengan enggan; sementara loafer miliknya digelontori hujan.

 .

.

Pembicaraan kami tak langsung dimulai. Raka masuk dan mengempas pintu; memasang seat-belt. Dan aku masih mematung. Terenyak pada jok empuk Camry miliknya. Entahlah. Aku tak percaya, sekarang Raka sungguh punya Camry. Menatap lurus-lurus ke arah depan; Raka menarik tuas presneling ke belakang.

“Kenapa bengong?” tanyanya, melintasi lapangan parkir.

Aku menoleh ke arahnya. “Kamu punya Camry?”

Ia terkekeh. “Iya, kenapa? Kamu teringat Raka bikinan kamu tiga tahun lalu itu?”

Wajahku memerah. Hanya sebuah kebetulan. Aku menutupinya dengan tawa. “Saya bahkan sudah nyaris lupa.”

Ada jeda. Pun ada aroma kopi. Bukan artifisial seperti yang kerap kuendus di jok mobil seseorang dulu. Alih-alih, aroma dari gelas karton Starbucks di bawah kompartemen dasbor. Ia meraup sesuatu di samping tungkai kakiku.

Sorry ya,” ia tersenyum jengah; meruyak kantong belanjaannya dengan susah payah.

“Sini biar saya bantu,” tawarku.

“Gak usah kok.” Memamerkan senyum jenaka dari bawah sana. “Buat kamu,” angsurnya. Raka menggigit satu yang menjadi jatahnya, memutar kemudi, dan berhenti di depan stopan perempatan Jalan Pelita Abdul Majid.

“Kamu kerja apa sekarang?” Ia masih masyuk menggigit. Tak jenak dengan gigitan kecil, lantas berbusa-busa soal gigitan besar. Aku menatapnya geli.

Account executive,” itu hanya cericip pelan di antara lindap radionya. “Run” dari Collective Soul, berkerap terang di layar display.

“Bukan copywriter?” tanyanya, menginjak pedal gas.

Egi pasti bercerita banyak. Dulu, ya, dulu aku pernah suka. “Bukan,” sahutku, mencengkeram keliman rok.

“Aku pikir kamu suka menulis.

“Enggak lagi. Dengan modal menulis susah kalau ingin bertahan di agensi.”

“Kupikir, Dimas orangnya open-minded.”

“Tunggu,” ujarku. Dimas? Aku tak jadi melempar tatapan ke luar jendela.

“Atasan kamu Dimas, ‘kan?” Menggigit apel dengan bersemangat; tatapan cerkas; ia tengah menunggu.

Aku menarik napas; memejamkan mata. Tiga tahun, kupikir tidak akan ada momen ini. Interogasi sinting yang memergokiku masuk ke agensi tolol dengan portofolio yang kubuat dua hari lalu. Agensi milik Dimas—Dimas Prasetyo yang membutuhkan junior account executive.

Aku tak kunjung menjawab. Takut itu merayap. Menaiki jemari. Lantas merongrong kaki. Aku ingin keluar. Buru-buru kutarik tuas pintu. Selotnya terkunci. Kubuka ristleting tas, menarik satu pak Djarum Black. Ia merebut kotak hitam itu dari tanganku.

Raka meminggirkan mobil sekonyong-konyong. “Gak ada Okta di rokok ini, Rin.” Ia membuka penutupnya, menekan tombol jendela, lantas membuang puntung-puntung itu begitu saja.

“Raka!” pekikku.

“Sampai kapan, Rin?” Matanya berkilat-kilat, disilap remang lampu jalan. Dengusan pertama tercipta dengan canggung.

Aku menggigit bibir. “Kontrak saya sudah berakhir.”

“Tapi, belum dengan Egi. Egi perlu kamu, Rin. Elegi juga.”

Egi keluar hanya untuk Elegi. Proyek agensi iklan amatir ciptaannya. Aku pegawai pertamanya, ia merekrut diriku dengan embel-embel copywriter, pekerjaan idamanku kala kami silih bertukar tatap dendam di masa orientasi dulu.

“Proyek itu kandas,” sebutku pelan. Menjatuhkan apel pemberiannya di sisi konsol tengah.

“Lantaran tidak ada yang mendanai?” tantangnya; tak perlu dijawab; pasti ia serta-merta bersedia. Aku menarik tuas pengunci dengan paksa. Tak peduli hujan, payungku kubiarkan menghuni sela jok belakang. Pintu mobil terbuka lebar. Aku berlari, melindungi kepala dengan tas duffle.

“Rin!” pekik Raka. “Dan aku juga,” sebutnya pelan. “Aku perlu kamu.”

Aku bohong soal pertemuan terakhir kami. Bukan tiga tahun lalu di kursi kafe itu, tapi tiga tahun lalu saat Raka mengucapkan kata-kata yang sama padaku. Tapi, aku malah menyesap rokok di belakangnya.

Tanpa sepengetahuannya aku menyimpan sesuatu yang hanya dapat kunikmati tentangnya dari jauh. Menyesap Djarum Black yang selalu Okta kepulkan di hadapanku.

Kaki-kakiku ingin berlari, tapi tak selamanya dengan berlari aku dapat melarikan diri. Ada rengkuhan di belakang sana; saat mata-mata di sekelilingku menatap; saat gerimis yang tadi meringis kini terasa mengiris.

7 thoughts on “GERIMIS YANG MERINGIS.  

  1. Kayyyyaaaaa….
    Diksinya buatku jatuh cinta.
    Cantik cantik cantik

    cuma aku penasaran hal apa yg mengikat mereka dimasa lalu, apa pekerjaan itu atau hal lain?

  2. Dimana Okta? Okta jadi nikah nih sama Dini? Rindina gimana dong? Sampe prustasi gitu, pelampiasannya ke roko 😦
    Move on move on move on!
    Nungguin ini tuh kayak nungguin bing bang comeback, lama pisan atuh ceu 😦

  3. ‘Sayang, terakhir kali kujumpai namanya, frasa tiga kata itu sudah terembos dengan efek perak di kartu undangan.’ DUH SIAL SIAL! Kak Zur!!!! banyak banget kalimat di sini yang bikin aku meringis sendirii. Aduh aku gemesh, diksinya cakep banget, kakak. As usual, aku sampe celengak-celengok sendiri baca fic kakak soalnya–diselingi belajar, lol. Sebenarnya aku belum begitu ngerti sama rumitnya masalah mereka HAHA terus aku liat komennya dan baca lagi.

    Terus, ini tuh kayak series berantai gitu ya, kak? Pantas saya nggak paham betul, tapi overall ya ngerti sih hehehe. Suasana malemnya kental banget (lah), maksudnya, suasana malem dengan hujan dan rokok yang identik. Suka!! Apalagi pas Rin ditinggal sama temennya lol Indonesia banget sih yang kayak gini.. x))

    ermm, dan ini ada saran+koreksi seadanya; ‘…alisnya yang kepalang dijinjing.’ kalo liat arti ‘jinjing’ di kbbi, ini agak aneh sih kak zur menurutkuxD. ‘Mengapa ia berada di sini sih?’ ‘sih’ yang seharusnya dimiringin di sini jadi biasa niih kak zur, mengingat ada kan ‘sih’ di kbbi.

    aku suka endingnya! meski cewek yang lari dari mobil cowoknya itu basic, tapi kemasan kata-kata akhirnya bikin aku meringis sendiri. goood job (as usual, OFC)! Keep writing dan sukses terus kakakk!<3

    xx

  4. pertama-tama salam kenal Kak Azura, aku xian garis 97 ^^ (x-nya kecil ya, heehehe)
    aku menemukan harta karun berisi fict-fict keren ini dari fanfiction list taKYUyaki ^^
    well, untuk ori-fict yang satu ini aku sangat sukaaa!!! setuju sama setiap pembaca yang setia berlama-lama di sini, menikmati fiksi kaka seperti membaca roman angkatan Pujangga Baru atau Era 1980 di mana diksi dan tata bahasanya benar-benar khas dari golden era. aku menemukan banyak sekali padanan kosakata yang jarang kuketahui 🙂 wah pokoknya daebak!!!

    memang inilah gayanya Kak Azura ya, meski aku baru baca bagian ini tanpa dua cerita yang juga berhubungan sama part ini aku udah bisa terbawa suasana Rin dan Raka, apalagi latar fisikial yang dipakai oleh cerbung(benarkan ini termasuk cerbung?) ini wehhh, aku berasa kaya di ajak ngeliatin mereka di pinggiran jalan kemang, apalagi pas mereka ngelewatin perempatan abdul majid yang lampu lalin-nya ga jelas banget itu, wkwkwk.
    aku suka sama filosofi rokok yang kerap Kak Azura bawa di sini yang dilimpahkan ke bagian wanitanya, keren(tapi serius, Rin kamu mesti berhenti sebelum terlambat ‘-‘)bbbb wkwkwk)

    semua komposisi dalam fiksi ini lengkap dan pas lah sampe aku juga gatau harus komentar apa lagi 🙂
    keep writing Kak Azura ^^

Leave a comment